Bayangan benda di sepanjang jalan yang dilewati oleh Jovita Minggu pagi itu sudah sama tinggi dengan bendanya saat ia berada dalam kereta menuju Belgrave. Belgrave terletak di Dandenong Ranges–yang merupakan paru-paru bagi Melbourne–berjarak sekitar 40 kilometer dari Central Business District (CBD) Melbourne dan dapat ditempuh dalam waktu satu jam menggunakan kereta.
Hanya tinggal Jovita sendiri dalam gerbong saat kereta berhenti di stasiun Belgrave yang merupakan ujung dari layanan jalur timur. Hawa Belgrave yang cukup dingin langsung terasa menusuk tulang begitu ia melangkahkan kaki ke luar dari gerbong. Penanda suhu di stasiun memperlihatkan angka 8 derajat Celcius. Dirapatkannya jaket yang membalut tubuh dan bergegas berjalan ke luar.
Jovita mempercepat langkahnya saat menapaki ramp menuju jembatan yang merupakan jalan keluar dari stasiun Belgrave. Dari atas jembatan, dilihatnya Agnes baru turun dari mobil Skoda Kodiaq hitam. Ia mempercepat langkahnya.
"Jo!" panggil Agnes saat melihat sahabat lamanya itu setengah berlari mendekat. Ia pun menghampiri sambil membuka tangan lebar.
"Nes!" Jovita memeluk sahabatnya. "Apa kabar?"
"Baik. Kamu?"
"Baik." Jovita memandangi sahabat lamanya, perempuan berdarah Sunda-Padang berkulit kuning langsat dengan lesung pipit yang menawan. Agnes sudah terlihat cantik tanpa perlu polesan riasan. Wajahnya tidak menunjukkan banyak perubahan sejak terakhir mereka bertemu dua tahun silam.
"Yuk, cepat masuk mobil, kamu pasti kedinginan," ajak Agnes.
"Sendiri, Nes?"
"Iya. Jude sedang mengantar Flynn ke acara di rumah teman sekolahnya," jawab Agnes. Jude adalah suami Agnes, sedangkan Flynn adalah anak lelaki Agnes yang berusia 7 tahun.
Setelah 7 menit berkendara, mereka berdua sampai di kediaman Agnes di Mount Morton Road, tidak jauh dari cagar alam Birdsland. Sebuah rumah berarsitektur ranch style berwarna putih terdapat di tengah-tengah halaman yang sangat luas. Terdapat pohon-pohon ash dan eucalyptus menjulang, serta tanaman berbunga tumbuh di sekeliling rumah. Jarak antara satu rumah dengan rumah lainnya agak berjauhan dan sangat jarang kendaraan yang berlalu lalang. Udara yang minim polusi dan segar menambah suasana asri dan sejuk.
"Akhirnya, kamu kesampaian juga ke rumahku," ujar Agnes sambil mematikan mesin mobilnya. Dua tahun lalu, saat Jovita dan keluarganya berlibur, mereka hanya sempat bertemu sambil makan siang di pusat kota Melbourne.
"Indah sekali rumahmu." Jovita memandang ke sekelilingnya.
"Ini hitungannya desa, Jo," sahut Agnes. Ia dan suaminya memang sengaja memilih tinggal jauh dari hiruk pikuk kota. "Kamu kayaknya bertahan paling lama seminggu di sini!"
Jovita tertawa. Agnes sangat paham karakternya yang senang berada di keramaian.
Agnes mengajak Jovita memasuki rumahnya. Gaya arsitektur ranch-style memiliki konsep terbuka, tipe bangunan satu lantai, tidak memiliki banyak sekat sehingga rumah akan terlihat seperti satu ruangan besar dan luas. Bentuk dasar bangunan cenderung sederhana dengan aksen yang tidak rumit. Interior rumah Agnes yang didominasi oleh warna putih, sofa dan karpet berwarna krem, serta gorden bermotif floral semakin menambah kesan luas dan alami.
"Ke mana Isla?" Jovita menanyakan anak sambung Agnes yang berusia 12 tahun.
"Sedang bermain di rumah temannya tidak jauh dari sini," sahut Agnes, mengajak Jovita ke ruang makan yang menyatu dengan dapur. Ruangan dapur didominasi warna putih menghadap ke kebun bunga yang sedang berkembang di musim semi ini. "Cuppa?" Ia menawarkan secangkir teh.
Jovita mengangguk, menerima tawaran Agnes, sembari duduk di stool meja bar dapur. "Masih sibuk menangani kasus KDRT?" pancingnya.
Agnes mengangguk. "KDRT adalah endemi, selalu ada. Untungnya sekarang beberapa korban sudah lebih berani untuk meminta pertolongan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Estuari Hati
RomanceHidup Jovita begitu sempurna. Paras menawan, otak brilian, karir mengagumkan, hidup berkecukupan, dan suami tampan. Siapa pun akan berdecak takjub bercampur iri melihatnya. Namun, badai datang meluluhlantakkan segenap pencapaian. Kekerasan dalam rum...