5. Four Seasons in a Day

13.7K 1.8K 226
                                    

Jovita melangkahkan kaki dari garbarata⁷ ke dalam kabin pesawat Airbus 300. Ia tersenyum pada dua flight attendant yang menyambut di dekat pintu masuk, lalu berjalan menuju tempat duduknya, nomor 7A kelas bisnis yang terletak dekat jendela. Setelah memasang sabuk pengaman, ia mengenakan perangkat jemala dan mencari musik yang cukup menenangkan di inflight entertainment. Berharap agar penumpang yang akan duduk di sebelahnya bukanlah orang yang menyebalkan sehingga ia dapat menikmati 6 jam penerbangan menuju Melbourne dengan nyaman.

Pertemuan pertama kali dengan Ezra menyeruak dari memorinya. Mereka bertemu di penerbangan dari Belanda menuju Indonesia. Jovita yang kala itu masih bekerja sebagai public relations manager di salah satu perusahan multinasional, baru saja selesai melakukan perjalanan dinas ke kantor pusat perusahaannya di Rotterdam. Berkenalan saat hendak check-in di bandara Schiphol, Ezra rela menukar tempat duduknya di kelas bisnis dengan penumpang lain demi berada di sebelah Jovita yang oleh kantor dibelikan tiket kelas ekonomi. Pertemuan yang dahulu diartikan oleh Jovita sebagai cinta sejati pada pandangan pertama dari Ezra terhadap dirinya, tetapi sekarang baginya itu merupakan tanda bahwa Ezra dengan mudah jatuh hati pada wanita yang ditemui.

Lamunan Jovita dibuyarkan oleh sapaan pria yang akan duduk di sebelahnya, seorang Kaukasoid dengan senyum yang ramah. Jovita balas tersenyum dan menyapa teman seperjalanan yang ia perkirakan seumur ayahnya.

Pesawat lepas landas sesuai dengan jadwal, pukul 02.10 pagi. Setelah pesawat dalam kondisi cruise⁸, Jovita langsung menurunkan sandaran kursi, menutupi tubuhnya dengan selimut, dan memejamkan mata. Hal yang sama juga dilakukan oleh pria tua di sebelahnya. Tidak membutuhkan waktu lama bagi Jovita untuk kehilangan kesadaran dan tertidur lelap.

Harum aroma kopi membangunkan Jovita dari tidurnya. Dilihatnya seorang pramugari sedang membagikan sarapan kepada penumpang di kursi depan. Ia menegakkan sandaran kursi, merapikan rambut dan pakaiannya.

"Morning," sapa pria tua di sebelahnya.

"Morning," sahut Jovita disertai senyum.

"Tampaknya kamu tidur sangat pulas," ujar pria itu ramah dalam bahasa Inggris.

Jovita tertawa kecil. "Rasanya ini tidur ternyenyakku dalam beberapa bulan terakhir ini."

"Semoga kamu terbangun bukan karena ulahku," ucap pria itu dengan nada khawatir.

"Sama sekali tidak," sahut Jovita.

Perbincangan pun mengalir sambil mereka menikmati sarapan. Lelaki tua itu sangat ramah dan bisa mengimbangi Jovita yang mudah akrab dengan orang baru.

"Ah ... aku sampai lupa bersopan santun," ujar pria itu di tengah perbincangan, lalu menjulurkan tangan untuk memperkenalkan diri. "Thomas."

"Jovita." Jovita menjabat tangan Thomas. Aksen Thomas tidak seperti orang Australia pada umumnya. "Maafkan kelancanganku, tetapi dari aksenmu sepertinya kamu bukan orang Australia."

Thomas tersenyum lebar. "Kamu pengamat yang jeli. Aku dari Swedia. Aku sebenarnya orang Amerika, tetapi lebih dari separuh hidupku tinggal di Swedia. Istriku orang Swedia."

Jovita manggut-manggut. Tebakannya tidak keliru. "Pertama kali ke Jakarta?"

Thomas mengangguk. "Ya. Aku baru saja menghadiri seminar di Jakarta, lalu menyusul istriku yang sudah terlebih dahulu berada di Melbourne. Ia sedang melakukan kerjasama penelitian bidang neurosains dengan UniMelb dan minggu depan akan menghadiri seminar di sana."

"Luar biasa! Apakah kamu ahli neurosains?"

"Bukan. Aku di bidang psikologi."

"Kutebak pasti kamu adalah narasumber di seminar kemarin!"

Estuari HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang