Lembaran buku Personal Branding in the Digital Age di pangkuan Jovita tidak bergerak sejak satu jam lalu. Isi kepala Jovita dipenuhi oleh berbagai pikiran, hatinya dibayangi kekalutan. Paparan komprehensif tulisan Francine Beleyi ̶ seorang Digital Content & Brand Strategist ̶ itu sama sekali tidak masuk ke dalam otaknya.
Tiga bulan terakhir, ia benar-benar dipenuhi kebimbangan. Di satu sisi sangat ingin mengetahui perkembangan penyelidikan Bayu mengenai si Aein, tetapi di sisi lain ada ketakutan menerima kenyataan. Kenyataan yang bisa memorak-porandakan kehidupannya. Dengan dalih berusaha memercayai suami, ia pun mencoba bertahan untuk tidak menghubungi Bayu.
Pintu kamar terbuka, Ezra–yang baru pulang dari kerja–masuk dengan senyum terulas di wajah. "Belum tidur, Honey?"
Jovita menggeleng. "Nungguin kamu." Ia melirik jam di atas nakas, pukul 11.30 malam.
Ezra menghampiri Jovita, lalu mencium keningnya. "Kan aku sudah bilang akan pulang larut, tidak perlu nungguin aku."
Jovita tidak berkomentar, hanya tersenyum tipis.
"Aku mandi dulu," ujar Ezra.
Jovita mengangguk. Setelah Ezra masuk ke kamar mandi, ia segera menyiapkan piyama, lalu membuka tas kerja suaminya dan mengambil ponsel. Sesuai kesepakatan, Ezra tidak lagi mengunci ponsel dan memperbolehkan Jovita untuk mengecek setiap saat. Ezra seolah ingin membuktikan bahwa kecurigaan istrinya tidak beralasan.
Tidak pernah ada percakapan lagi antara Ezra dan si Aein yang ditemukan Jovita, bahkan kontak perempuan itu pun sudah terhapus. Ia bingung, apakah harus lega atau curiga. Namun, pilihan terbaik baginya adalah berusaha memercayai Ezra demi keutuhan rumah tangga.
Beberapa menit kemudian, Ezra sudah keluar dari kamar mandi dengan wajah segar. Tubuhnya yang hanya ditutupi handuk menguarkan aroma sabun mandi yang sangat disukai Jovita, wangi bunga magnolia. Ia mengambil bingkisan dari kantong belanja, sebuah kotak kado berwarna emas.
"Untukmu," ujar Ezra sambil menyodorkan kotak tersebut.
Jovita memaksa diri tersenyum, kian hari Ezra kian memanjakannya dengan berbagai hadiah. Ada senang bercampur waswas. Sebuah chemise sutra berwarna emas terlihat saat kotak dibuka. Jovita mengangkat gaun tidur pendek dengan belahan dada rendah dan renda cantik tersebut.
"Pakailah, kamu pasti terlihat sangat seksi," bisik Ezra di telinga Jovita.
Lagi-lagi berbagai rasa berkelindan di hati Jovita, antara senang dan cemas. Keromantisan dan hasrat seksual Ezra yang menggelora akhir-akhir ini merupakan sebuah ambiguitas baginya. Bisa diartikan sebagai bentuk kecintaan, tetapi juga dapat menjadi upaya menutupi kesalahan.
"Apa lagi yang kautunggu?" tanya Ezra melihat istrinya tidak segera mematuhi permintaannya barusan.
Jovita beranjak ke kamar mandi, tidak punya pilihan selain memenuhi keinginan suaminya. Di depan cermin kamar mandi, ia memperhatikan chemise yang memperjelas lekuk dada dan pinggangnya. Entah mengapa, bukan perasaan bangga karena tubuhnya yang terlihat seksi dengan balutan chemise itu, tetapi justru perasaan risi dan jejap memenuhi ruang hatinya.
Ia menghela napas, berusaha menghibur diri bahwa itu dilakukan demi menyenangkan suami. Ia lalu membalikkan badan, berjalan ke arah pintu kamar mandi. Dilihatnya celana panjang Ezra yang tersampir di bathtub. Ia mendengkus, suaminya itu sering bersikap sembarangan, meletakkan segala sesuatunya dengan berantakan.
Diambilnya celana panjang berwarna biru tua itu. Ia merogoh saku untuk memastikan tidak ada sampah atau benda lain tertinggal sebelum dimasukkan ke keranjang baju kotor. Tangannya terhenti saat meraba saku celana. Sebuah benda berbungkus plastik tertinggal. Diambilnya benda itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Estuari Hati
RomansaHidup Jovita begitu sempurna. Paras menawan, otak brilian, karir mengagumkan, hidup berkecukupan, dan suami tampan. Siapa pun akan berdecak takjub bercampur iri melihatnya. Namun, badai datang meluluhlantakkan segenap pencapaian. Kekerasan dalam rum...