3. Be in Two Minds

13.9K 1.9K 484
                                    

Jovita berkaca di depan cermin dengan perasaan yang tidak dapat diidentifikasikannya. Sesuatu yang belum pernah dirasakan seumur hidup. Seperti ada yang mengimpit dada sekaligus membuatnya seolah tak dapat berpijak. Satu hal yang bisa ia identifikasikan dengan jelas hanyalah bahwa suaminya berkhianat, melanggar sumpah suci perkawinan mereka, menghancurkan kepercayaan yang telah ia titipkan selama ini.

Pagi ini, ia sengaja bersiap pergi lebih cepat dari biasanya. Semua keperluan Ezra hari itu telah disiapkannya. Dasi yang senada dengan kemeja, celana panjang, pakaian dalam, hingga kaus kaki. Ia mengamati isi lemari suaminya, mencari apakah ada hal baru yang berbeda dari seleranya selama ini. Tidak ada sesuatu yang berbeda.

Ezra menggeliat, terbangun dari tidurnya. Ia mengusap wajah, melirik ke arah jam di atas nakas, lalu bangkit dari tidurnya.

"Morning, Honey," sapa Ezra begitu melihat Jovita yang telah rapi dan siap beraktivitas. Ia menghampiri istrinya. "Kamu sudah mau berangkat?" Ia memeluk Jovita.

Jovita mendadak merasa muak dan jijik dengan semua kemesraan Ezra.

"Ya, aku harus mempersiapkan kelas pagi," sahut Jovita, berusaha menjaga agar suaranya tidak bergetar karena menahan emosi. Ia segera merapikan tempat tidur, mengalihkan energi dan fokusnya.

"Apakah jadwalmu padat hari ini?" tanya Ezra.

"Lumayan."

"Apa saja?"

"Seharian ini aku ada kelas public speaking untuk pejabat pemerintah. Apa saja kegiatanmu hari ini?" Sebuah pertanyaan terlontar dari mulut Jovita, pertanyaan yang selama ini belum pernah diajukannya. Ia terlalu percaya bahwa Ezra setiap hari hanya berjibaku dengan urusan pekerjaan.

"Hanya ada sidang pagi dan bertemu dengan klien yang akan mengajukan banding," jawab Ezra. Tebersit rasa kaget karena Jovita menanyakan akivitasnya hari ini, hal yang tidak pernah dilakukan istrinya. "Tadinya aku ingin mengajakmu makan siang, tapi ternyata kamu padat sekali."

Jovita terperangah. Ia baru menyadari mengapa Ezra selalu menanyakan aktivitasnya setiap hari. Pertanyaan yang selama ini dianggapnya sebagai bentuk kepedulian, tetapi bisa jadi itu adalah cara suaminya untuk mencari celah agar bisa memadu kasih dengan si Aein itu.

"Kalau begitu kita makan malam bersama saja, setelah aku selesai di kementerian," usul Jovita yang sebenarnya hanya merupakan basa-basi.

"Ah, I can't, Honey. Aku ingin main tenis. Sudah hampir sebulan absen," sahut Ezra, lalu melangkah menuju kamar mandi.

Jovita kembali terperanjat. Ia ingat betul, minggu lalu, Ezra beralasan bermain tenis sehingga pulang larut, sedangkan barusan berkata sudah sebulan tidak berlatih. Pembohong memang sering melupakan kata yang pernah dilontarkan. Kekesalannya memuncak. Ia segera mengambil tas Balenciaga-nya.

"Aku pergi dulu." Jovita membuka pintu kamar. "Sampai nanti, Chagia!" pamitnya dengan sindiran. Ia lalu menutup pintu, bergegas turun ke lantai bawah.

Ezra tersentak mendengar kata yang disebut Jovita untuknya barusan. Sejenak dipastikan pendengarannya. Ia segera menghambur ke pintu, menuruni tangga, berusaha mengejar istrinya.

Di lantai bawah, terlihat istrinya setengah berlari menuju Mercedes-Benz GLA 200-nya yang sudah siap di depan pintu depan rumahnya. "Honey!" panggilnya seraya berlari mengejar.

Jovita bergegas masuk mobil. "Jalan sekarang, Pak!" perintahnya kepada Joko, yang segera dipatuhi oleh sopir pribadinya itu. Dadanya bergemuruh penuh amarah. Ia memejamkan mata, bayangan kehancuran rumah tangga menari-nari di pelupuknya.

Getaran ponsel memaksa Jovita mengambil alat komunikasi itu dari tasnya. Tulisan "Bear" terpampang. Dibiarkan sambungan itu mati dengan sendirinya. Berulang kali Ezra berupaya menghubungi, tetapi tetap dibiarkan. Ia juga memerintahkan Joko untuk tidak mengangkat panggilan telepon, yang sudah pasti berasal dari Ezra.

Estuari HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang