22 (END)

15 0 0
                                    

Perih
Sesak
Hancur
Kemudian bersatu menjadi
Duka
 

  Kalau  manusia boleh merangkai takdirnya sendiri, tentu aku dan kamu akan memilih jalan bertabur bunga. Tapi hidup bukanlah tentang bahagia semata. Seringkali kita dipaksa terluka untuk menemukan hakikat diri sebagai hamba dari Sang Maha Cinta air mata itu, seperti hujan.... Dia datang bersama badai. Lalu reda menyisakan pelangi. Tidak semua gelap berarti kelam. Karena untuk menatap indahnya bintang gemintang dan peredaran cahaya bulan, setiap insan selalu butuh akan kepekatan malam. Tegarlah wahai jiwa...surutlah wahai duka..... Semua akan berakhir bahagia.  (Nm).

   Tanah itu tidak lagi rata. Disana sudah ada gundukan yang dibuat beberapa jam yang lalu, terdapat juga sebilah papan yang bertuliskan nama sang cinta pemuda itu. Air matanya terus merebes membuat sungai deras di pipinya. Bahkan semesta turut merasakan lukanya. Hujan deras terus mengguyur gundukan itu.

Dua jam berlalu, jangankan untuk pulang. Untuk beranjak saja pemuda itu masih enggan. Dia terus bersimpuh disamping makam itu. Tidak perduli seberapa kotor pakaian nya saat ini. Tangisan itu semakin pilu, mampukah ia bertahan?

Dulu ketika ia kehilangan cintanya, ia sempat bertanya.
Adakah luka yang lebih besar?
Hari ini Tuhan menjawab tanya itu dengan cara mengambil orang yang dicintainya.

"Jika boleh memilih, aku ingin kamu tetap disini meskipun bukan sebagai kekasih."

"Bagaimana keadaan mu sekarang? Apa sakit itu masih terasa? Apa kamu bertemu dengan orang-orang baik disana?

Kamu pasti yang paling cantik  diantara mereka ya, hehehe." Pemuda itu tertawa miris.

"kenapa pergi? Bukankah kamu ingin kakak sukses? Jika ingin pergi, kenapa hanya sendiri? Apakah kakak tidak cukup baik untuk selalu disamping mu?

Kamu suka berbagi kan? Kenapa dalam hal ini kamu jadi egois?
Bahkan sangat egois.

Dulu kamu pernah pergi dan melupakan kakak, kemudian kita bertemu lagi walau melalui jalan yang salah. Dan kini kamu juga kembali pergi?

Maaf, karena tidak mengenal mu sejak awal. Apa kamu ingin menghukum kakak?

Jika iya, kakak sudah menyerah dan mengaku salah. Jadi, kembali lah atau jemput kakak!!!"

Pemuda itu, Fariz terus meracau tak tau arah. Cahayanya benar-benar telah pergi. Pergi untuk tidak kembali lagi.

Langit berubah jadi gelap, senja telah pergi dijemput sang malam yang kelam. Adzan maghrib telah berkumandang. Meski tertatih, Fariz memaksakan kakinya untuk melangkah.

"Selamat tinggal Ra, baik-baik disana. Jika lelah sendiri jangan lupa jemput kakak, kakak menanti dengan sepenuh hati!"

Kakinya terus melangkah menuju rumah. Walaupun sangat sulit tapi terus berusaha.

Rapuh. Bahkan hancur. Atau lebih buruk lagi. Kakinya begitu sakit melewati kamar Aira, tulang di kakinya seakan hilang tanpa jejak. Tak ada lagi yang menopang badannya untuk tetap berdiri. Lagi, badannya kembali meluruh ketika membuka pintu kamar Aira. Bau gadis itu masih sangat jelas disana, bau yang menentramkan jiwa. Tapi juga menghancurkan ketika dia ingat bahwa gadis itu telah pergi dan takkan kembali.

"Kak Aiz.... Hiks." Seketika Fariz menoleh kebelakang. Itu duplikat jiwanya.

"Rana... Kenapa?"

"Kata bunda, kak Ara pergi buat nyembuhin penyakit nya. Apa kak Ara akan balik lagi?"

Fariz tersenyum samar.

"Tidak sayang, kak Ara bakal nungguin kita disana. Kak Ara sekarang baik-baik saja kok. Kamu jangan sedih ya! Berdo'a aja, semoga kak Ara bahagia disana."

Kau Bukan Untukku(end)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang