Delapan Belas

10 7 0
                                    



𝕲adis itu tertunduk lemah di atas bangkar, menatap nanar pada selembar foto yang ada di tangannya. Foto masa kecilnya bersama orang yang sangat dicintainya sekaligus kakak yang berharga dalam hidupnya. Masih ingat dengan jelas bagaimana bergetarnya tangan Fariz memberikan foto itu se jam yang lalu.

  Mata kecil nan sayu itu mulai bergerak perlahan, menandakan sang pemilik telah sadar, "bunda...." lirih gadis itu yaris tak terdengar. Tapi mampu membuat semua orang menoleh dan tersenyum bahagia.

"Iya sayang,  ini bunda. Ayah sama yang lain juga disini , Ara baik-baik saja kan nak?mana yang sakit ?" Isak Aisyah sambil menggenggam erat tangan anak sulungnya.

"Iya bunda, Ara nggak papa," Matanya menatap ke sekeliling mengabsen orang-orang yang ada disana sambil mengingat kejadian sebelumnya. Semuanya terlihat hadir.

Pandangannya terhenti pada sosok yang sangat dicintai itu, Fariz. Fariz yang juga tengah menatapnya dengan penuh kecemasan. Hidung dan matanya masih memerah, mungkin karena habis menangis.

"Jadi itu semua benar nyata adanya, bukan mimpi. Sebuah kebenaran yang menghancurkan segala mimpi dan rancangan masa depan yang pernah kurangkai sebelumnya.." Tanpa permisi, air mata lolos begitu saja membanjiri pipi indah gadis itu.

" Kak Fariz," Ujar Aira di sela-sela isaknya.

"Ara..." Lekaki yang kerap disapa Fariz itu langsung memeluk erat tubuh sang adik yang selama ini dicari-carinya. "Kakak rindu Ara, jangan pergi lagi ."

Walaupun ragu,tapi Aira tetap membalas pelukan kakaknya. Toh mereka adalah adik kakak, hanya beda ibu.

"Ara juga kak, walaupun Ara tidak ingat tentang masa kecil kita." Ujarnya lirih diiringi isakan.

"Nggak papa Ra, ketemu aja kakak sudah bahagia, ini masa kecil kita!" Ujar Fariz sambil menyodorkan selembar foto yang sudah usang tapi masih sangat jelas.

Dengan tangan gemetar, Aira meraih foto tersebut. Disana ada foto dirinya bersama sang kakak. Tampak Aira tengah memangku seekor anak kucing sedangkan Fariz merangkul bahu kecil adiknya.

"Lucu juga kita waktu kecil ya kak" Ucapnya sambil tersenyum getir.

"Permisi pak, bu" Seorang suster masuk ke ruangan  Aira "baiknya pasien istirahat terlebih dahulu, kondisinya masih lemah."

" Baik sus, Terima kasih ." Ucap pak Rahman

"Mari pak, permisi." Ujarnya sambilberlalu.

   Tanpa menunggu lama, kini hanya tertinggal Aira seorang diri sambil menatap foto masa kecil mereka.

   Lagi-lagi air mata tak dapat lagi di bendung. Ia lolos begitu saja di temani isakan kecil yang tertahan. Sungguh tak menyangka, orang yang begitu ia cintai sebagai pasangan hidup adalah kakaknya sendiri.

Aira terisak kecil, meremas foto kusam yang di genggamannya. Hatinya kini bagai ditikam belati secara kejam lalu dibubuhi lemparan besi yang membuat hatinya panas.

"Kak, aku harus gimana? Satu sisi bahagia memiliki kakak sebaik dirimu, tapi disisi lain juga sedih, karena kau juga orang yang aku cintai sebagai pasangan hidup. Sangat miris ya kak dunia ini" Monolog nya sambil tersenyum. Senyum getir itu lagi. Kenapa kisah cintanya begitu menyedihkan?

"kamu dan Fariz adalah saudara...!!"

Kata-kata itu bagai kaset rusak yang berputar di pikiran Aira saat ini. Mendapati cinta Fariz yang nyatanya adalah kakaknya sendiri lebih menyakitkan dari apapun. Rasanya Aira ingin terbangun dari mimpi saat ini. Namun, ketika berulang kali ia menampar pipinya, berulang kali juga Aira disadarkan dengan kenyataan pahit yang baru didapatkan-nya.

Ara nggak kuat..... Hiks

Aira terus terisak di atas bangkar, dingin yang mulai menusuk membuatnya bergeming. Bahkan kepala yang kembali terasa berdenyut pun di hiraukan, sungguh rasa sakit yang ada dihatinya mengalahkan segala rasa sakit yang ada di raganya.

Aira bergeming, bibirnya bergetar. Hati kecilnya ingin membantah, menentang, dan mematahkan ketentuan dari takdir. Namun, dia tak punya cukup keberanian untuk melakukan itu.

kamu dan Fariz adalah saudara...!!"

Kalimat itu bagai sianida yang menyelinap ke tenggorokannya.  Dada aira memanas. Mungkin zat itu telah menimbulkan korosif yang parah disana.

Kenapa begitu sakit?

Dengan sekuat tenaga Aira mencoba menahan perih di hatinya. Rasanya pasokan oksigen kian menipis disekitarnya. Fakta itu sangat menyakiti hati Aira, sehingga menorehkan luka dalam didasar lubuk hatinya.

Aira meraba organ yang berdetak di balik tulang rusuk. Dia menekur, sudut matanya mengerut, seakan-akan ia ingin berkenalan lebih jauh dengan rasa itu. Kemudian, gelengan kepala terjadi. Dia mengurungkan niat dan tak ingin bersinggungan dengannya lagi.

Perlahan air matanya kembali mengalir membasahi pipi, kemudian di peluknya foto usang tersebut lebih erat lagi.

Jika mungkin,

Bolehkah ia meminta, atau

Bolehkah ia egois dan meminta takdir berpihak padanya?

Atau

Haruskah ia berdamai dengan takdir?

Melapangkan dada yang begitu sesak?

Menerima tanpa bertanya kenapa?, mengapa?








Solok,
@devinofri69_

Kau Bukan Untukku(end)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang