Enam Belas

10 8 0
                                    


Bunda sama ayah da....tang...." Seketika saja gelas yang ada di tangan bunda jatuh begitu saja. Disambut lantai keramik yang hanya menyisakan serpihan beling.


-----


    𝕾edangkan ayah memasang muka tegang kemudian mata memerah. Entah akan menangis atau apa, akupun tidak mengerti.

    Semua orang tampak terkejut dengan pertemuan mereka. Hanya aku, Rana,serta Raihan yang masih terdiam dengan ekspresi penuh tanda tanya tanda tidak mengerti.

    "Ra..nia.... Fa-riz... Nak," Ayah berucap dengan sedikit terbata-bata.

    Setelah itu tidak ada lagi yang berbicara, hanya diam dan saling memandang. Sesekali juga melirik ke arahku. Tatapan yang tak pernah kulihat sebelumnya. Entah kekecewaan, kesedihan kadang juga terlihat ada keharuan.

   "Iya ayah, ini tante Rania mamanya kak Fariz, ini om Ardi papanya dan Raihan adik kak Fariz." Ujarku sambil menunjuk mereka satu-satu. "Ternyata ayah sudah kenal, itu akan lebih baik. Iya kan kak...?" Tanyaku pada kak Fariz yang masih terdiam tak bersuara. Matanya berkaca-kaca.

    "Ini ayah sama bunda aku tante.. Itu adik kecilku Rana." Lanjutku mengenalkan keluargaku  pada mereka.

    "Ayah, Ara...." Hanya itu kata yang keluar dari mulut kak Fariz lalu disusul buliran air mata yang jatuh satu persatu dari mata indahnya. Sungguh, aku benar-benar tidak mengerti tentang air mata yang kak Fariz keluarkan, seakan ada luka dimatanya. Luka yang akan membunuhku bila di ungkapkan.

    "Iya ini ayah Ara kak, kenapa kakak menangis..?"

     Bukannya menjawab pertanyaan dariku, tapi kak Fariz langsung memeluk ayah. Begitupun juga dengan ayah yang langsung membalas pelukan kak Fariz dengan sangat erat. Terkadang aku juga sempat berfikir, apakah mereka seperti sebuah hubungan yang baru pulih kembali.? Sementara itu bunda hanya menangis dengan tetap berdiri dibelakang ayah.

     "Bunda...ada apa..?" Aku yang tidak tau apa-apa hanya bisa bertanya tanpa ada jawaban.

     "Ara... Duduk dulu nak dekat bunda sini!." Aku langsung mendekap bunda, dan bertanya, "ada apa...?"

   Hanya gelengan kepala yang bunda berikan sambil segukan. Sesulit itukah memberikan jawaban atas pertanyaan ku yang sederhana.?

   "Rania, duduklah. Duduk aja semuanya, kita akan bicarakan hal ini." Bunda kembali bersuara.

  Belum sempat aku bertanya, lebih dulu ayah berkata, "Ara dan Fariz tidak bisa menikah..!"

    Bagai petir di siang bolong, satu kalimat dari ayah mampu meluluh lantakkan hatiku. Seakan ada benda berat yang menindih dadaku sehingga sulit untuk bernafas.

  Disamping ayah, kak Fariz duduk dengan tatapan kosong dan mata yang masih memerah.

   " Kenapa..?" Hanya itu yang bisa kuucapkan saat ini, semuanya terasa begitu berat. Dan air mataku keluar begitu deras tanpa bisa ku cegah.

    "Ara, turuti perintah ayah ya nak...! "

  "Tapi kenapa ayah, kak Fariz anak yang baik kan..? Apa kak Fariz punya salah sama ayah..? " Aku kembali bertanya dengan suara serak.  Begitu banyak pertanyaan yang ada di kepala ku saat ini, tanpa ada jawaban.

    "Kak.. Jelaskan sama ayah Ara, bahwa kita akan segera menikah. Kita saling mencintai satu sama lain..!" Tapi, kak fariz hanya menatap ku dengan tatapan yang sangat sulit diartikan.. Ada apa..?

      "Ara, dengerin bunda..! kamu dan Fariz adalah saudara...!!"

  Kata-kata bunda kali ini sungguh menyakitkan dari perkataan ayah sebelumnya. Seperti ada sesuatu yang menyelinap masuk dan mengiris hatiku dan memberikan rasa sakit yang teramat pedih. Seperti ada ribuan jarum tak kasat mata yang tiba-tiba menusuk jantungku. Jangankan untuk bicara, bernapas pun sangat sulit bagiku.

   Napasku rasanya langsung tercekat. Paru-paruku seolah lupa caranya mengembang. Hidungku juga seperti lupa bagaimana cara memasukkan oksigen kedalamnya. Bahkan aku seakan lupa dimana tempat kakiku berpijak.

      Takdir macam apa ini,apa itu nyata atau hanya candaan dari semua orang?

   "Bunda,bercanda nya jangan berlebihan. Ara tidak suka..?" Suaraku bahkan tak lagi terdengar. Bukan karena gugup dengan kak Fariz seperti di rooftop, tapi ini sungguh memilukan.

   "Tidak nak, yang Ara dengar adalah kenyataan." Bunda terus mengusap air mataku yang bercucuran tanpa henti.

    "Kak Fariz, katakan sesuatu..! Ara sungguh tidak mengerti."

    "Yang dikatakan bunda benar Ara, kita saudara." Kali ini kak Fariz bersuara. Bahkan suaranya tidak jauh berbeda dengan suaraku tadi, Serak.

     "Tante, semuanya bohong kan..? Mana mungkin aku sama kak Fariz saudara. Kita beda ayah sama ibu."  Aku segera menghampiri tante Rania yang masih mematung sambil menangis di samping om Ardi.

   "Maafin tante nak, harusnya tante mengenali bahwa kamu adalah Aranya Fariz." Lagi-lagi ada kata yang sulit untuk ku pahami.

   "Maksud tante..?" Pernyataan tante Rania benar-benar membingungkan. Entah apa yang terjadi  dengan takdirku,semuanya begitu membingungkan.

   "Iya Ara, harusnya kakak tau, bahwa kamu adalah Ara yang selalu kakak rindukan,  Ara yang selalu kakak cari, dan Ara jiwanya kakak. Maaf Ara....!!" Kak Fariz kembali berujar dengan suara yang masih serak,dan kepala tertunduk lesu.

"Ara tidak mengerti, adakah yang bisa menjelaskan lebih rinci lagi..?" Aku kembali bertanya dengan sedikit berteriak.

"Tenang lah nak, ayah akan menjelaskan semuanya." Ayah mengisyaratkan agar aku tetap tenang dan mendengarkan  sepenggal kisah yang tak pernah kudengar sebelumnya.














Hiks, yang kuat ya Ra😭😭

Solok,
@devinofri69_

Kau Bukan Untukku(end)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang