22.【Puasa Kelimabelas】

410 53 12
                                    

Selamat membaca❤


'Puasa Kelimabelas'


Dahi Jibran berkerut samar saat melihat ibunya duduk dengan santai di ruang tengah sambil membaca majalah. Aneh sekali, biasanya saat ia pulang hanya ada asisten rumah tangga dan adiknya. Ini masih pukul dua siang, harusnya Jiaya pulang dua jam lagi.

“Bunda,” sapanya seraya mencium tangan Jiaya. Ibu dua anak itu tersenyum sambil menatap anak pertamanya.

Jibran membuka dua kancing teratas baju batiknya, lalu duduk di sofa yang  berseberangan dengan sang ibu. “Kok Bunda udah pulang?” tanyanya heran.

Perempuan yang menguncir setengah rambut panjangnya itu merotasikan bola mata. “Memang kenapa sih kalau Bunda pulang cepat?! Tadi Jihan juga nanya kayak gitu! Nyebelin!” gerutu Jiaya.

Yang diajak bicara hanya menatap tenang ibunya, “Santai, Bun.”

“Baru, ya?” tanya anak sulung Dennis itu saat melihat gelang putih berkilat di pergelangan tangan kiri Jiaya.

Wajah Jiaya berubah manis, dengan anggukan kecil ia bertanya kepada anaknya itu, “Iya! Coba tebak siapa yang kasih?”

“Dennis Hartanto.”

Senyum Jiaya berubah menjadi tawa, “Bener! Ayahmu random banget dari semalam, Kak.” cerita perempuan itu kepada anaknya.

Jibran mengangguk menanggapi ceritanya ibunya, lalu kembali menatap Jia dengan penasaran. “Bunda nggak dipecat 'kan?”

“Sembarangan!” bantah Jiaya, “Kerjaan Bunda udah selesai, terus gak ada temen ngobrol. Daripada bosan mending Bunda pulang,” jelasnya.

“Jadi, di sini Bunda udah ngobrol sama siapa?”

“Nggak ada. Ekspetasi memang gak sesuai realita, Bran,” ujar Jiaya dengan wajah sedih yang dibuat-buat.

Anak itu tertawa kecil lalu berdiri dari duduknya berencana untuk masuk ke kamarnya yang ada di lantai atas, “Aku ke kamar dulu, ya? Mau ganti baju,” pamitnya yang diangguki Jiaya.

Selang beberapa menit Jiaya bangkit dari duduknya dan menghampiri meja panjang yang terdapat tumbuhan kecil.

“Permisi, Ibu? Boleh saya siram dulu?”

Jiaya berbalik dan tersenyum ke arah pekerja di rumahnya yang tengah membawa semprotan kecil.

“Saya aja. Mbak lanjutin aja kerja yang lain,” ujar perempuan itu seraya menerima semprotan yang diberikan, lalu mengangguk pelan sebelum kembali menghadap tanaman kecil itu.

Perempuan usia kepala empat itu mulai hanyut dalam kegiatannya, sesekali ia berhenti sebentar untuk mengamati foto kecil anak-anaknya yang diletakkan tak jauh dari meja itu.

Saat tengah fokus-fokusnya, derap langkah kaki seseorang membuatnya membalikkan tubuh, lalu bola matanya melebar.

“Ih! Kok udah pulang?!”

Dennis yang sibuk menggulung lengan kemejanya ikut terkejut. “Tumben banget kamu udah pulang?” laki-laki itu ikut mempertanyakan hal yang sama kepada istrinya.

“Suka-suka Bunda dong…”

“Berarti suka-suka Ayah juga.”

Jiaya berdecak membuat Dennis terkekeh kecil, “Suaminya pulang cepat tuh disambut gitu, dipeluk kek, cium kek, apa gitu…” tutur Dennis sembari duduk di sofa panjang itu.

“Males ah, lagi puasa!”

“Alasan.”

Jiaya tertawa lalu kembali fokus pada tanaman-tanaman itu, dapat ia rasakan keberadaan seseorang di belakangnya. “Kecil-kecil gitu mahal, ya, Bun?” tanya Dennis sembari ikut menatap tumbuhan hijau yang baru disiram istrinya.

Griya Bahana ||twice ft. boys||Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang