"Aku bakal biarin Ayah keluar dari sini, asal Ayah mau janji satu hal."
"A-apa?"
"Hidup bahagia dengan Junkyu hyung juga Jihoon hyung. Tingal bersama mereka walaupun anda harus hidup sederhana." Doyoung tersenyum. "Lakukan hal nekat lalu pergi bersama Junkyu dan Jihoon hyung sejauhnya."
Dojun terdiam, tidak tau harus merespon apa. Dia terus-terusan melirik jendela. Dojun takut, pagi akan menjelang. Doyoung terkekeh melihat gerak-gerik Ayahnya.
Pemuda berambut merah itu berjongkok di depan Ayahnya. "Janjilah denganku." Doyoung menyodorkan kelingkingnya. Manik gelapnya menatap sang Ayah dengan segenap permohonan. Dojun spechless di buatnya.
"Lalu.. Bagaimana denganmu?"
Doyoung tidak menjawab. Ia mengambil tangan Ayahnya lalu mengaitkannya dengan kelingkingnya. "Sekali-kali, aku ingin menyuruh Ayah melakukan hal nekat. Hiduplah dengan baik dengan Junkyu dan Jihoon hyung. Bahagiakan anakmu."
Tangan Dojun terkepal. "Lalu siapa kau? Kau bukan anakku?" Tanya Dojun membuat Doyoung diam. "Kau juga berhak hidup dengan baik bersamaku. Ayah bisa menghidupi kalian bertiga."
Doyoung menghela nafas berat. Dia berdiri dengan satu tangan masuk saku dan kepala melihat jendela. "Aku sudah mengatakan.. Salah satu dari kita akan mati.. Ntah itu Ayah mati di tanganku.. Atau aku yang mati karna takdir.."
Dojun menahan nafas.
"Junkyu hyung ingin sekali di sayang dengan Ayah. Jihoon hyung belum pernah menghabiskan banyak waktu dengan Ayah.. Bukan aku yang mereka inginkan.. Tapi Ayah disana.." Lanjut Doyoung menyeka air matanya yang jatuh setetes. Dia kembali menatap Dojun lalu mengulurkan tangan. "Saat pagi hari di bulan kedua, jangan ragu dengan keputusan Ayah."
"Apa maksudmu??"
Doyoung terkekeh lalu mengambil tangan Dojun agar berdiri. "Ajak Junkyu dan Jihoon hyung bersama anda saat itu. Jangan perdulikan bagaimana kalian hidup sederhana. Setidaknya, Ayah sudah menepati janji nanti. Itu sebabnya, aku membiarkan Ayah keluar dari sini.."
Dojun mengepal tangannya saat tidak kuat menghadapkan hal ini. "Junkyu dan Jihoon lebih menginginkan kamu disana." Pria itu berdesis sedangkan Doyoung terkekeh.
"Aku lebih tau daripada Ayah." Ujar Doyoung lalu berdesis. "Bahkan aku tau.. Ayah yang melakukan ini semua.." Lanjutnya membuat Dojun terdiam. "Hanya satu yang aku tidak tau, kenapa Ayah seperti itu? Katakan alasannya. Apa yang Ayah inginkan? Ayah kira manusia mainan tangan Ayah?" Doyoung terkekeh miris. "Jangan samakan aku dengan orang lain."
"Apa maksud kamu Kim Doyoung?!"
Doyoung mencoba tenang dan tidak membuat Ayahnya ini membuang-buang waktu. "Orang lain bukan boneka tangan Ayah. Tidak cukup aku? Apa Ayah memang seperti itu? Tidak pernah puas?"
Jleb!
"Jangan omongan kamu." Desis pria itu setelah menusukan pisau yang di umpatkan di balik kemeja ke sisi kiri bagian perut putranya. Doyoung muntah darah saat itu juga dengan mata menatap manik gelap Ayahnya.
Doyoung tersenyum miring lalu memegang tangan Ayahnya yang masih memegang pisau. Doyoung tarik tangannya sehingga pisau ikut terlepas dengan kuat membuat pemuda itu kembali memuntah darah.
"P-pergi sekarang.."
Dojun tersentak. Apa-apaan anaknya ini? Dojun kira, setelah ia melakukan ini, Doyoung tidak jadi membiarkan dirinya pergi. "Buat apa? Toh nanti Ayah di hukum mati."
Doyoung berdesis. "Karna itu, lakukanlah hal nekat!"
Rawr...
Rawr..RWARGH!!!
Zombie-zombie dengan jumlah yang tidak sedikit itu masuk ke dalam karna pintu terbuka begitu lebar. Kepekaan mereka terhadap suara membuat teriakan Doyoung begitu jelas di telinga mereka.
Dojun yang hampir menembakan pistol karna reflek itu tidak jadi karna Doyoung lebih dulu menahannya. Rasanya pemuda itu ingin mengumpati si pencipta virus ini karna kebodohannya.
Malam hari membuat keadaan gelap. Zombie yang sekarang tunanetra itu hanya menggunakan telinga mereka. Doyoung mengajak Ayahnya untuk melewati zombie itu secara perlahan. Jika batle pun sudah pasti mereka berdua lose secara tidak adil.
Saat sampai di bibir pintu, Dojun yang ketakutan setengah mati itu langsung berlari membuat suara tapakannya terdengar zombie meski sangat pelan. Doyoung kaget dengan kelakuaan Ayahnya yang sangat pabo.
Karna terkejut zombie mendatanginya, Doyoung ingin menggeser pintu toko agar tertutup namun lengannya di tarik membuat Doyoung langsung berteriak kencang saat beberapa zombie itu dengan brutal menggigit lengannya.
"AKH!"
Dojun kaget. Pria itu menatap si bungsu yang baru saja berteriak. Dojun menelan ludah. Doyoung pasti sudah terinfeksi jika sudah digigit. Dojun dengan segala ketidakberaniannya dan tidak mau ambil resiko, langsung menancap gas pergi dari wilayah itu meninggalkan Kim Doyoung putranya.
Pemuda berambut merah itu tetap menekan pintu agar tidak bergeser. Dia memperhatikan mobil Ayahnya sambil menahan sakit saat dagingnya di koyak habis-habisan. Ia tersenyum tipis, kejadiannya memang sesuai, Doyoung tidak kaget lagi jika Ayahnya memang pergi.
Ini.. Takdirnya.
Perlahan tangan Doyoung yang menahan pintu semakin melemah. Pandangannya buram dengan manik perlahan-lahan berubah putih. Matanya terbuka sipit dengan warna sepenuhnya putih.
"Ayo Kak kita ketemuan di perbatasan."
Air matanya jatuh saat itu juga.
***
Sementara itu Dojun dapat melihat jelas sebuah jembatan tak jauh dari tempatnya. Apakah ini sebuah ending baik atau buruk baginya? Dojun akan di masukan ke dalam penjara tapi setidaknya itu lebih baik daripada mati di makan zombie.
Dojun menyesal? Tidak.
Doyoung yang menginginkan hal itu, Dojun hanya mengikutinya. Tidak ada yang salah dengan apa yang dia lakukan. Dia tidak bersalah atas kematian putra bungsunya. Seperti kata Doyoung, ini takdir. Dan di antara mereka berdua yang mati hari ini memang Kim Doyoung, karna garis takdirnya seperti itu. Dan Dojun, tidak merasa bersalah sama sekali.
Pria itu melirik jam di mobil. Ia tersenyum saat tau jam sudah menunjukan 05.53 itu artinya sebentar lagi pengeboman akan di laksanakan. Dojun harap, Kim Junkyu juga Kim Jihoon masih di dalam sana agar sekalian saja tidak ada pewaris lain selain dirinya.
HAHAHAHA!!
Namun saat sampai, Dojun mengepal tangan. Jauh di depannya, dua anaknya dan anak dari Kakaknya berdiri di sana. Mereka sudah sampai di perbatasan jauh sebelum ia sampai.
Kim Junkyu, Kim Jihoon dan Choi Hyunsuk.
***