19. Panik

2.9K 323 7
                                    

Ilona berlari menyusuri koridor rumah sakit. Gadis itu panik bukan main saat mendapat kabar dari rumah sakit jika Becca mengalami drop, fungsi jantungnya semakin melemah. Kemungkinan bisa berakibat fatal dalam waktu dekat.

Ilona mengusap air matanya saat melihat Becca terbaring lemah di atas bangsal. Bunyi alat pendeteksi detak jantung itu membuat tubuh Ilona ikut melemah. Tabung oksigen serta selang infus di mana-mana.

"Bersabar, Kak. Ilona bakal cari pendonor buat kakak," lirih gadis itu itu terisak.

Suara ketukan sol sepatu itu menggema di koridor, Ilona membalikkan badan. Tubuhnya gemetar melihat Irna datang, wajah wanita itu terlihat tidak enak.

Baru saja beberapa detik, ia langsung mencengkeram dagu Ilona dengan tangan kanannya. Menatap gadis itu tajam. "Kamu apakan lagi, kakak kamu? Apa kamu sengaja mau buat dia mati, iya?!"

Ilona menggeleng, air mata semakin deras membasahi pipinya. "Nana baru sampai juga, Bu," ucapnya lirih.

Irna langsung melepas cengkramannya dengan kasar, membuat wajah Ilona memerah. Gadis itu tertunduk menahan isak tangisnya.

"Kalau Becca sampai kenapa-kenapa, saya gak segan buat ngambil jantung kamu sebagai gantinya!" gertak Irna, membuat Ilona semakin ketakutan.

Entah sampai kapan penderitaan Ilona akan berakhir. Dia terlalu muda untuk menerima segala macam tekanan dan siksaan dari Irna. Jika tidak kuat fisik atau mental, mungkin Ilona sudah lama mengalami depresi.

Namun, entah kekuatan dari mana. Gadis itu selalu menutupi semuanya dengan senyuman. Selalu mengatakan pada semua orang bahwa dirinya baik-baik saja.

Tak lama dokter yang menangani Becca keluar. Ia menatap sendu keluarga Becca. "Sepertinya operasi harus segera dipercepat, jantung pasien sudah semakin melemah," jelas dokter prihatin.

"Apa sudah ada pendonor, Dok?" tanya Ilona memotong ucapan Irna, saat wanita itu hendak ikut bertanya.

"Sampai saat ini, belum ada pendonor. Namun, pihak rumah sakit terus mengupayakan untuk mencarinya." Setelah mengatakan hal pahit itu, Dokter pamit untuk kembali bertugas.

Irna terduduk di kursi, menatap sendu pintu kamar Becca yang tertutup. Irna sudah melakukan upaya untuk mencari biaya, mulai dari bekerja sebagai OB, tukang sapu jalanan, hingga pembantu. Dan sekarang bekerja di tempat laundry. Hasil jerih payahnya ternyata masih belum mencukupi biaya operasi Becca.

Irna mengalihkan pandangannya pada Ilona. Tubuh gadis itu semakin kurus karena terlalu sering mendapat sikaaanya. Kali ini, Irna mencoba menahan amarahnya untuk tidak dilampiaskan pada Ilona.

"Pergi kamu!" perintah Irna.

Ilona mendongak, menatap manik mata Irna yang begitu penuh kebencian setiap melihatnya. Tak terasa air mata kembali membasahi pipi tirus Ilona.

"Bu, tolong jangan usir Nana kali ini. Nana pengen jagain kak Becca," lirih gadis itu gemetar.

Irna membuang pandangannya, ia tak sanggup melihat air mata Ilona yang semakin deras. "Kamu dengar apa kata saya, Na? Pergi!" bentak Irna, membuat Ilona tersentak kaget.

"Bu, Nana mohon, jangan usir Nana." Ilona bersujud di kaki Irna, memohon belas kasihan pada wanita itu.

Namun sayang, kebencian terlalu menguasai Irna. Ia langsung menendang Ilona hingga tubuhnya terhempas ke tembok. "Pergi Ilona!" teriaknya, mengarahkan jari telunjuk ke arah jalan keluar.

Ilona terisak hebat, walaupun rasa sakit menjalar di punggungnya. Gadis itu mencoba untuk kuat, untuk tidak mengadu pada siapapun. "Bu, Nana cuma mau--"

Plak!

Satu tamparan mendarat mulus di pipi kanan Ilona, beberapa orang yang melihat itu menggeleng. Kedua suster langsung menahan Irna ketika mencoba untuk menjambak rambut Ilona.

"Tolong, Dik, pergi dari sini demi keselamatan Adik," perintah suster itu.

Air mata menjadi saksi, betapa sakit dan tersiksanya Ilona. Dengan berat hati gadis malang itu melangkah tertatih meninggalkan rumah sakit.

--->> to be continued

30 Days with love [Versi Baru]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang