5. Sedingin Es

3.8K 431 12
                                    

"Aku selalu berharap, harapan itu masih ada dan masih nyata."

♡♡♡

Ilona terdiam di motor, sesekali melirik wajah cowok itu melalui spion. Suasana sangat tegang, Ilona bahkan tak berani memegang cowok itu walau hanya dibaju. Motor terus melaju membelah jalanan yang cukup macet.

Lebih anehnya lagi, tanpa menanyakan alamat rumah Ilona. Cowok itu langsung berhenti di depan gang tepat arah rumah Ilona.

Ilona mengerutkan dahi saat melepas helm. "Kok kamu tau rumah aku?" tanya Ilona penasaran.

Lagi, dia hanya mengembsukan napas pelan. "Gak penting, sana masuk. Udah malem, gak baik buat cewek lemah kayak lo," titahnya.

"Hm, kalau gitu terima kasih. Maaf udah ngerepotin," ucap Ilona, menyerahkan helm itu padanya.

"Hm." Lekaki itu hanya berdehem, memutar balik motornya dan pergi begitu saja.

"Aku bahkan belum tau namanya," lirih Ilona penasaran.

Gadis itupun melangkah menyusuri lorong yang sunyi dan sempit. Ah iya, Ilona lupa membelikan hadiah untuk ibunya. Walau Irna tak pernah sayang padanya, tetapi Ilona tetap menyayangi wanita itu lebih dari apapun. Karena bagaimana pun dia sudah merawat Ilona sejak kecil.

"Ini sudah jam berapa?" Irna menyambut kedatangan Ilona, matanya menyorot tajam pada gadis itu.

Ilona tertunduk, menautkan jemarinya menahan takut.

"Dasar anak tidak tau diri. Kamu mau coba-coba menghindar dari pekerjaan rumah, iya?" Irna menarik lengan gadis itu, lalu menyeretnya ke dapur. "Bersihkan semuanya, sebelum kamu makan!"

Ilona terduduk lemas di samping kulkas, tubuhnya belum pulih sepenuhnya sejak pingsan tadi. Kepala bahkan masih terasa sakit dan pening.

"Na, kamu udah makan?" Suara lembut itu tidak asing.

Ilona mendongak, matanya berkaca-kaca saat melihat Becca mengulurkan tangannya. "Kakak!" Ilona langsung memeluk gadis pucat itu, yang tak lain adalah Kakak angkat Ilona.

Hanya Becca yang peduli pada Ilona, walau kadang Becca harus menanggung amarah Ibunya demi membela sang adik. Becca memeluk Ilona, mengusap lembut punggung Ilona. "Yang kuat ya, dek. Kakak tau kamu pasti cape dengan ini semua," ucap Becca.

"Cepat sembuh, kak. Ilona gak punya teman," lirih gadis itu.

Becca melepas pelukannya, memegang kedua bahu Ilona. Sudut bibir gadis itu terangkat, walau bibirnya pucat itu sama sekali tak mengurangi manisnya senyum itu.

"Tahan sebentar lagi, ya. Kakak bakalan selalu ada di sisi kamu," ucap Becca. Gadis itu berdiri, perlahan melangkah mundur dan semakin jauh. Hingga cahaya putih nan silau membuatnya tak terlihat lagi.

"Kak Becca!" Ilona terbangun. Keringat dingin membasahi pelipisnya. Terdengar embusan napas berat. "Hanya mimpi

****

19.00

Ilona bersiap-siap memakai jaket dan sepatunya. Gadis itu berniat untuk mengunjungi Becca di rumah sakit. Ia merogoh saku bajunya, lalu mengambil ponsel untuk menghubungi Nico.

Nico


|Nico, bisa anterin aku ke rumah sakit malam ini?


Ngapain lo ke rumah sakit?


|Mau jenguk kak Becca, bisa kan?


Gak bisa, gue lagi makan malam sama Elis. Lagian ngapain juga jenguk orang yang udah mau mati. Biarin aja!

Ilona mematikan ponselnya setelah membaca balasan dari Nico. Bahkan, bukan hanya kasar pada Ilona saja. Nico juga seperti membenci Becca.

"Uang ini masih cukup untuk bayar ojol." Ilona menatap beberapa lembar uang di tangannya. Seharusnya uang itu cukup untuk jajan selama satu minggu lagi, tetapi karena ingin menjenguk Becca Ilona harus memakai semuanya. Untuk membayar ojol dan membeli buah-buahan.

"Mau ke mana kamu?" Suara serak Irna menghentikan langkah Ilona.

Gadis itu tersenyum lembut. "Mau jenguk kak Becca, bu," jawabnya sedikit ragu.

Irna hanya merespon dengan anggukan singkat, lalu kembali sibuk dengan ponselnya. Ilona sedikit tenang, itu berarti Irna memberi izin untuknya.

Saat hendak menutup pagar, tiba-tiba lampu motor membuat Ilona menutup mata karena silau. Beberapa detik kemudian motor sport itu berhenti.

"Nico," lirih Ilona, mengulum senyum bahagia. Ilona percaya, Nico masih punya rasa simpati padanya.

"Gak usah lalot, buruan! Mumpung gue lagi baik nih, gue rela ninggalin elis buat lo. Dari pada ko kenapa-kenapa di jalan," ujar Nico.

Ilona langsung tersneyum lebar, ternyata Nico masih begitu peduli padanya. Itu berarti masih ada harapan untuk Ilona. "Makasih, Nic," ucap Ilona pelan, lalu naik ke motor.

---->> to be continued

30 Days with love [Versi Baru]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang