14. Positif thinking

2.9K 350 1
                                    

Hari ini Ilona akan pergi ke rumah sakit bersama Nico, tetapi sudah hampir setengah jam menunggu di rumah. Nico tak kunjung datang atau menitip pesan jika dirinya memang ada kesibukan lain.

Ilona berusaha berpikir postif, mungkin saja Nico terjebak macet. Minggu pagi ini adalah jadwal kendaraan yang cukup padat. Karena banyaknya orang-orang yang berlibur.

Tak lama terdengar suara motor sport mendekati rumah, dan itu adalah Nico. Ilona seketika tersenyum lega, berarti Nico tidak mengingkari janjinya.

Irna yang mendengar suara motor itu bergegas keluar. Ia terdiam sejenak ketika menyadari kedatangan Nico. Lelaki itu mengulas senyum tipis, menjabat tangan Irna dengan sopan.

"Apa kabar, Tante?" Nico sepertinya cukup dekat dengan Irna.

"Ngapain kamu ke sini?" Irna menatap sinis Nico, seringai di bibirnya begitu menyeramkan.

"Jemput pacar saya, Tante. Mau jenguk Kak Becca, mari," pamit Nico, lalu menarik lembut tangan Ilona menghampiri motornya.

Ilona merasakan firasat buruk. Irna pasti akan memberinya hukuman saat pulang nati, Ilona sangat yakin akan hal itu.

Motor mulai melaju meninggalkan rumah, Nico tersenyum puas melihat reaksi Tante Irna tadi. Ada rasa kepuasan tersendiri di dalam dirinya.

"Nic, kamu kenal sama Ibu?" Ilona menatap Nico dari spion, dan melihat senyum Nico yang begitu misterius.

"Kenal, kamu kan pacar aku. Jadi aku pasti kenal sama camer aku," jawab Nico cengegesan.

Ilona seketika tersipu malu, dan langsung melayangkan cubitan di pinggang Nico. Keduanya tertawa lepas di tengah padatnya jalanan ibu kota pagi ini. Sudah lama Ilona tidak merasakan keharmonisan ini bersama Nico. Gadis itu melingkarkan tangannya di pinggang Nico, lalu menyenderkan kepalanya di pundak Nico.

Beberapa menit kemudian mereka sampai di rumah sakit. Nico langsung menggandeng tangan Ilona memasuki gedung rumah sakit. Sesekali menoleh sembari tersenyum pada gadis itu. Hal itu semakin memperkuat argumen Ilona, bahwa Nico benar-benar telah berubah.

Nico tersenyum tipis ketika menatap memandangi nomor pintu 012. Seperti ada niat lain yang terselubung di dalam diri lekaki itu.

Perlahan Ilona mendorong pintu, membuat Becca menoleh. Menunggu beberap detik hingga Ilona dan Nico benar-benar terlihat jelas.

"Bentar, ya, Nic. Aku ke kamar kecil dulu," pamit Ilona, lalu Nico menangguk singkat.

Becca terdiam, kedua tangan gadis itu mengepal ketika Nico melontarkan senyum singkat.

"Apa kabar, Bec?" tanya Nico, tatapan mata lelaki itu terlihat beda.

Becca hanya menatap Nico datar, sekalipun tak ada niat untuk menjawab atau bahkan mengulas senyum singkat.

Nico berdecak kesal, perlahan mendekat lalu duduk di sisi Becca. Rahang Nico terlihat menegang, tetapi bibir lelaki itu membentuk lengkungan manis.

"Gue nanya, gimana kabar, lo, Bec." Nico mengulang pertanyaanya, tetapi dengan bahasa sedikit lebih tegas.

Becca menggeleng, mengalihkan pandangan dari Nico. Gadis itu hampir menitikkan air mata, tetapi berusaha kerasa untuk ia tahan.

"Lo sakit apa, sih?" Nico masih juga tak hentinya bertanya.

"Bukan urusan kamu!" bentak Becca, gemetar.

Tak lama pintu kamar kembali terbuka, rupanya Ilona sudah kembali dari kamar kecil. Becca seketika bisa bernapas lega.

"Ada apa, kok diam-diam gini?" Ilona mengulas senyum tipis, lalu mengambil duduk di samping Becca.

"Aku ngajak kakak kamu kenalan, tapi dia malah cuek, Na," adu Nico berbohong.

Becca tersenyum getir. Mencoba menahan sesuatu yang sakit pada dirinya. "Tolong kalian pergi!" perintah Becca.

Ilona langsung mengerutkan dahinya, menatap ke arah Nico lalu menaikkan alis. Seakan meminta jawaban pada cowok itu, entah apa yang sudah ia perbuat hingga mood Kak Becca jadi buruk begitu.

"Kak, kita--"

"Keluar!" teriak Becca penuh penekanan.

Nico tersenyum, tatapan matanya sayu menatap punggung Becca. "Gue bakal balik," putus Nico pada akhirnya.

---->> to be continued

30 Days with love [Versi Baru]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang