20. Jarak 2

3.3K 352 20
                                    

Ilona duduk diam di halte bus, sesekali melirik jam yang melingkar di lengan kecilnya. Hari hampir sore, tetapi Nico belum juga sampai.

Nico berjanji akan menjemput Ilona di sekolah setelah selesai mengikuti kelas tambahan, tetapi lelaki itu belum terlihat juga. Arumi dan Alden sudah pulang lebih dulu, angkutan umum tidak akan melewati halte di dekat sekolah Ilona jika sore.

Langit semakin gelap, awan tebal tampak menghitam. Ilona mengembuskan napas berat saat merasa setitik air menyentuh kulitnya. Dan pada akhirnya hujan kembali membasahi ibu kota, menumpahkan segala bebannya.

Tring!

Nico
Kamu masih di sekolah?|

|Iya, Nic. Bisa cepat gak, hujan makin deras.


Nico
Sorry banget, Na. Aku lagi di rumah Clara belajar bareng. Kamu naik angkot aja, ya^^|

|Oke, Nic. Semangat belajarnya:)

Nico tertawa puas. Ia yakin Ilona pasti menunggunya sampai kapan pun itu. Sedangkan Clara hanya bisa ikut tersenyum kikuk, walau sebenarnya gadis itu agak kasihan melihat Ilona diperlakukan tidak baik oleh Nico.

"Nic, kamu gak ngerasa bersalah ngekakuin itu sama Ilona?" Clara meringis saat Nico hanya menatapnya datar.

"Kenapa, lo gak mau bantuin gue? Lo mau belain Ilona juga kaya Elis? Lo gak mau terima akibatnya, kan!" Nico menaikkan kedua alisnya.

Clara seketika menggeleng cepat, berusaha tersenyum. "Enggak kok, aku gak bermaksud gitu. Cuma ... miris aja gitu ngeliat kehidupan Ilona, dia gadis baik dan sabar."

Nico hanya berdecih. Baginya tak ada kehidupan yang miris selain kehidupannya, Ilona juga tak akan mampu jika mengalami apa yang dirasakannya. Begitu pikir Nico.

Clara pun hanya bisa pasrah. Sebagai sepupu keluarga dekat Nico, gadis itu agak prihatin melihat kondisi Nico yang semakin hari justru semakin buruk.

Yang Clara lihat, bukan Ilona yang tersiksa akan sikap Nico. Yang ada Nico sendirilah yang menyiksa dirinya dengan berbagai cara untuk membuat Ilona sakit hati.

****

Sekarang apa? Ilona harus menunggu hujan reda, jika menerobos maka dipastikan ia akan demam lagi seperti waktu itu.

Ilona jadi teringat pertemuannya dengan Alden pertama kali. Alden ibarat seorang malaikat yang dikirim Tuhan untuknya waktu itu, membawa payung serta memberikan Ilona jaket tebal.

"Menghayal di bawah hujan deras, bisa memicu terjadinya kerasukan Jin botol," tegur Alden yang entah sejak kapan sudah berapa di samping Ilona dengan payung birunya.

Ilona tersentak kaget, menggeser duduknya menjauh dari Alden. "Kak Alden, aku pikir hantu. Bukannya udah pulang sama Arumi tadi?" Ilona mengusap dadanya, hampir saja gadis itu berteriak.

Bukannya menjawab, Alden justru melayangkan pertanyaan juga. "Nico ke mana?"

"Em, katanya lagi belajar bareng Clara. Jadi gak bisa jemput." Ilona tertunduk lesu, tetapi ia masih saja mencoba berpikir positif.

Alden menyunggingkan sudut bibirnya, sudah Alden tebak itu hanyalah alasan Nico untuk mengelabui Ilona. "Dia janji bakalan jemput, lo?"

Ilona mengangguk polos, membuat Alden menatap gadis itu miris. Ia bahkan tak menyadari bahwa itu semua hanyalah bagian dari drama yang telah Nico susun bersama Clara.

Alden ingin memberitahu semuanya, tetapi ia merasa kata-kata tidak akan bisa membuat Ilona percaya begitu saja. Harus ada bukti yang kuat, bahawa sebenarnya Nico yang menjadikan Ilona sebagai tempat pembalasan dendamnya pada Becca.

"Na, gimana kalau selama ini, Nico gak jujur sama lo?"

"Maksudnya?" Ilona mengerutkan dahi, mendengar pertanyaan yang dilontarkan Alden padanya.

"Maksud gue, gimana kalau selama ini Nico ada maksud lain buat pacaran sama lo?" Alden menatap Ilona sesaat.

Gadis itu mengulas senyum tipis, mendongak menatap awan yang masih menumpahkan bebannya di atas sana. "Kalaupun Nico hanya pura-pura atau ada maksud lain, enggak apa-apa. Seengaknya 30 hari Nana bersama dia bisa terpenuhi."

"30 hari bersama dia, maksudnya?" Alden mengangkat alis kirinya.

---->> to be continued

30 Days with love [Versi Baru]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang