Jaemin sampai di rumahnya disambut handuk tebal yang diberikan ibunya. "Cepat masuk. Ganti bajumu, ibu akan menyiapkan makanan hangat." Nyonya Na mengusap lembut pipi milik Jaemin sebelum berlalu menuju dapur.
Jaemin pun segera melaksanakan perintah ibunya, setelah itu ia ke dapur untuk menghampiri sang ibu.
"Aku mau makan udon." Jaemin duduk di salah satu kursi yang mengelilingi meja makan."Tentu. Sekarang minum dulu ini." Nyonya Na menyodorkan secangkir coklat panas pada Jaemin, yang diterima baik.
"Tadi ibu membereskan gudang, ada lukisan—"
"Apa ibu buang?" Jaemin bertanya panik.
"Tidak. Ibu menyimpannya di kamarmu, apa kau tak melihatnya?"
Jaemin tadi tidak memperhatikan isi kamarnya yang ia pikur sudah ia hafal betul. Ia akan memastikanya nanti, sekarang perutnya jauh lebih penting.
Setelah perutnya terisi, Jaemin pergi ke kamarnya. Jaemin termenung di kamarnya, ketika matanya menatap sebuah lukisan yang belum selesai. Itu lukisan yang dibicarakan ibunya tadi. Tiba-tiba saja Ia teringat Renjun, padahal lukisan itu bukan milik pemuda menggemaskan bermarga Huang.
Lama Jaemin diam hingga memutuskan mengambil kanvas kosong, dan mulai menarikan kuasnya di sana. Menggambar hal yang terlintas di benaknya. Huang Renjun dan langit jingga.
Setelah merasa puas dengan hasil lukisannya. Ia membereskan peraltannya, sementara lukisnnya ia simpan di samping lukisan tadi.
Jaemin hendak tidur, saat tiba-tiba ia ingat satu barang yang cukup penting untuknya. Namun juga cukup lama tak ia pakai, ia bangkit menghampiri meja belajarnya, sedikit menunduk untuk membuka laci dan mengambil benda hitam itu. Tersenyum setelah memastikan barang itu masih bagus.
"Aku akan menunjukkannya pada Renjun besok." Guman Jaemin.
Keesokan harinya Jaemin begitu kesal karena adanya ulangan dadakan, pelajaran matematika. Jaemin tak sempat belajar ataupun latihan, juga ia tak terlalu pandai dalam pelajaran ini.
"Jaemin. Nanti kumpulkan semuanya dan simpan di meja saya." Ujar guru perempuan yang kini berjalan keluar dari kelas. Meninggalkan siswa yang kini saling meminta jawaban pada teman.
Jaemin mengerang, hari ini ia tak bisa makan bersama dengan Renjun. Jaemin akan mengirimkan pesan pada pemuda itu, takut jika Renjun menunggunya.
Jaemin telah mengumpulkan kertas hasil jawaban milik teman sekelasnya, dan ia beranjak menuju ruang guru. Ia melewati kelas Renjun, dan menyempatkan diri melonggokkan kepalanya mengecek keberadaan pemuda Huang. Namun Jaemin tak menemukannya, kelas itu kosong. Mungkin Renjun tengah menghabiskan makanannya di kantin bersama Haechan.
Jaemin merasa aneh, seharian ini tak bertemu dengan Renjun selama di sekolah. Pesannya pun tak dibalas oleh pemuda itu, apa Renjun marah karena tadi Jaemin tak menemaninya makan?! Jaemin akan meminta maaf nanti di klub melukis.
Jaemin sengaja datang awal ke klub lukisnya, berharap memiliki banyak waktu mengobrol dengan Renjun. Namun, jangankan berbincang , bertemu pun tidak. Pemuda itu menghilang, Jaemin merasa resah. Sebenarnya kemana Renjun? Kenapa pemuda itu tidak datang. Juga kenapa ponselnya tidak aktif.
"Jaemin? Kau kenapa, terlihat begitu lemas. Kau sakit?" Ibu Jaemin bertanya khawatir ketika melihat putranya datang dengan raut tak bersemangat.
"Tidak, ibu. Aku hanya—" Jaemin memeluk ibunya, menghirup aroma wanita yang telah melahirkannya itu.
"Hanya apa?" Sang ibu mengusap lembut punggung putranya.
"Hanya rindu ibu." Jaemin melepas pelukannya lalu tersenyum lebar pada ibunya.
"Tidak, bukan itu. Cepat cerita, jangan memendamnya sendirian." Ibu Jaemin menuntun putranya untuk duduk.
"Aku mempunyai teman baru." Jaemin memulai ceritanya dengan senyuman, rasanya hatinya bahagia saat akan menyebutkan sosok ini.
"Namanya Renjun, dia begitu cerewet. Rambutnya berwarna perak, tubuhnya kecil. Tapi kalau marah, dia begitu—lucu." Ujar Jaemin sambil terkekeh. Ia dapat melihat ibunya ikut tersenyum mendengar ceritanya, sepertinya ibunya tengah membayangkan bagaimana sosok Renjun.
"Tapi hari ini aku tidak bertemu Renjun, di sekolah juga klub melukis." Jaemin berubah lesu saat mengatakannya, ibunya mengusap rambut Jaemin.
"Mungkin dia ada urusan, kau bisa bertemu dengannya besok Jaemin." Tangan wanita itu beralih mengusap pipi milik putranya. "Apa dia orang yang begitu menyenangkan? Hingga putra ibu begitu sedih tak bertemu dengannya satu hari."
"Dia sangat pantas disukai banyak orang, aku rasa ibu juga akan menyukainya saat bertemu dengannya." Jaemin menjawab cepat.
"Benarkah?" Mendengar nada tak percaya milik ibunya membuat Jaemin langsung mengangguk yakin.
"Kalau begitu kapan-kapan ajak kemari."
"Oke." Jaemin kembali memeluk ibunya.
Seperti biasa saat jam istirahat Jaemin menghampiri kelas Renjun, senyuman miliknya tak juga luntur. Jaemin begitu senang akhirnya ia akan bertemu lagi dengan Huang Renjun.
"Maaf Jaemin, tapi Renjun tak masuk sejak kemarin." Jawab Haechan saat Jaemin bertanya mengenai sosok berambut perak.
"Kemana?"
"Sakit. Bahkan surat yang dikirim, surat keterangan dari dokter." Haechan diserang rasa bersalah begitu mengetahui temannya itu saat, karena bagaimana pun sebelumnya dirinyalah yang menularkan flunya pada Renjun.
Sementara itu Jaemin kembali ke kelasnya dengan rasa khawatir, Renjun sakit? Sakit apa?! Surat dokter pula. Apa ini ada hubungannya dengan check up yang selalu dilakukan pemuda itu?
Jaemin mencoba menghubungi nomor Renjun, namun suara operator sialan yang menjawabnya.
Jaemin merasakan dadanya terasa sesak akan rasa khawatir, ya Tuhan semoga Renjun baik-baik saja.
"Aku tak bertemu Renjun dari kemarin." Jaemin menatap rupa didepannya. Ia berkunjung lagi ke tempat tempo hari dirinya mengatakan memiliki urusan pada Renjun.
"Aku khawatir, dia juga sering melakukan check up. Aku takut dia sakit." Jaemin menunduk memyembunyikan raut kacau miliknya.
"Lebih dari itu, aku takut kehilangan lagi." Jaemin kembali menatap wajah yang memiliki tanda kecil di bawah matanya.
"Jeno, aku takut." Jaemin berujar lirih.
KAMU SEDANG MEMBACA
O r a n g e ✔
FanfictionJAEMREN NA JAEMIN - HUANG RENJUN ____________ ⚠️ bxb boyslove