XLI

4K 147 13
                                    

Niat hati untuk menghampiri laki-laki yang menganggu pikirannya semenjak pertemuan mereka yang terakhir membuatnya harus rela berbohong kepada resepsionis dengan mengatas namakan Norman, pria kepercayaan orang yang masih sangat ia cintai itu adalah kunci dari keberhasilannya menerobos masuk lantai para petinggi perusahaan gedung pencakar langit ini. Saat menyusuri lorong menuju ruangan yang dulu sering ia datangi ia dapat melihat punggung yang memiliki perawakan seperti Norman, dan jelas ia sangat mengetahui kalau pria itu menuju ruangan David.

Dengan langkah yang ia buat seminim mungkin untuk mengurangi suara dari benturan high heels dua belas sentimeter yang biasa ia gunakan sehari-hari, membawanya untuk berdiri di depan pintu kayu besar di depannya tanpa ketahuan. Ini jam makan siang, meja asisten pribadi David juga tidak berada di kursinya dan ini merupakan kesempatan yang bagus, setidaknya ia tidak perlu untuk mencari alasan senatural mungkin.

Sial, pintu ruangannya tertutup dan ia sangat yakin jika ruangan tersebut pasti kedap suara. Dirinya memutar otak liciknya untuk mengetahui hal apa yang dibicarakan di dalam ruangan tersebut, terlebih dirinya tidak mengetahui reaksi apa yang akan diberikan oleh David ketika melihat keberadaan dirinya.

Delilah mencoba untuk membuka pintu tersebut selembut mungkin, entah Dewi Fortuna dari mana dirinya dapat membuat sedikit celah untuk dirinya menguping tanpa mengalihkan perhatian dari dua orang yang sedang berhadapan. Tak ada yang banyak berubah dari ruangan David, malah sepertinya tidak ada perubahan hanya komputer yang dulu memenuhi meja kerja David telah berubah menjadi laptop pintar.

Delilah menajamkan indra pendengarannya, mencoba mendengarkan isi percakapan antara David dengan Norman. Dirinya mengecek jam dinding yang menggantung di tembok bagian tempat asisten pribadi David, jam makan siang hampir berakhir ia takut dirinya ketahuan sedang menguping dengan posisi yang sangat konyol. Ia berjongkok agar siluet dirinya tidak terlihat oleh David.

Ia dapat memastikan bahwa percakapan antara David dan Norman melibatkan dirinya, meskipun samar ia masih dapat mendengar namanya disebut di dalam percakapan itu. Hatinya menghangat dan berbunga saat David masih membicarakan tentang dirinya, setidaknya ia masih memiliki harapan untuk kembali kepada kekasihnya itu. Namun, yang selanjutnya ia dengar benar-benar membuatnya marah hampir saja ia putus asa dan menerobos masuk ke dalam ruangan David, tapi akal sehatnya mengatakan untuk diam di tempat dan mendengarkan percakapan itu hingga selesai.

Satu kesimpulan yang ia dapatkan adalah David masih mencintainya. Namun penghalang hubungan antara dirinya dengan David haruslah disingkirkan lebih dahulu, terbukti dari David yang tersulut emosi saat Norman menanyakan tentang dirinya pada David.

"Permainan baru dimulai sayang, aku akan menjemputmu pulang." Delilah membalikkan badan dan bersiap meninggalkan tempat tersebut, berharap jika asisten pribadi David belum sampai di tempatnya bekerja.

Delilah tetaplah Delilah. Di balik wajahnya yang selalu menjadi dambaan laki-laki di negerinya sendiri maupun di luar sana, tersembunyi otak licik dan niat jahat di dalamnya. Menghalalkan segala cara bukanlah pantangan bagi dirinya, seperti saat ini ia sedang menunggu seseorang sembari menikmati teh hangat disalah satu restoran yang masih berada di komplek perkantoran David.

Delilah melirik jam pada handphonenya ia sudah menunggu hampir empat puluh menit namun keberadaan orang yang sudah ia tunggu belum tampak, mungkin efek meminta bertemu pada jam pulang kantor membuatnya harus rela untuk lebih bersabar.

"Maaf aku terlambat sweetie, kau tau sendiri bagaimana traffic saat jam pulang kantor." Rangga mencium pelipis Delilah dan mengisi kursi kosong yang ada di depannya.

"Hey harusnya aku yang meminta maaf, kamu harus meninggalkan pekerjaan lantaran aku ingin bertemu." Wajah bersalah Delilah saat ini benar-benar harus diberikan piala penghargaan.

"No itu bukan sebuah masalah yang besar, lagi pula aku sedang senggang jadi kau tidak perlu meminta maaf untuk hal yang tidak kamu perbuat. Tersenyumlah." Delilah dengan malu-malu menerbitkan sebuah senyuman tulus, dalam hatinya ia berbahagia lantaran Rangga adalah seseorang yang sangat mudah untuk ditaklukkan.

"Jadi ada hal apa yang membuatmu merindukanku?" Goda Rangga yang mendapatkan hadiah pukulan ringan dari Delilah, pipinya tersipu malu.

"Kamu memang playboy nomor satu di kota ini Rangga."

"Aku bukan playboy Delilah, harus berapa kali lagi aku mengatakannya padamu?"

"Sepertinya aku tidak bisa mengatakannya di sini Rangga aku butuh tempat yang lebih pribadi." Rangga menyandarkan tubuhnya pada kursi, Delilah benar-benar gadis yang membuatnya bertekuk lutut tak berdaya untuk menolak semua permintaannya.

"Aku masih belum mengerti. Jadi tempat yang lebih pribadi seperti apa yang kamu maksud?" Tanya Rangga menggoda kesabaran Delilah.

"Ayolah Rangga jangan mempermainkan aku." Akhirnya Rangga menyerah ia mengalah untuk tidak menggoda Delilah lagi, akhirnya mereka berdua meninggalkan restoran yang mulai terisi oleh para pekerja yang memilih untuk singgah sebelum pulang ke rumah.

Rangga membawa Delilah ke apartemennya, ia belum berniat untuk membawa Delilah pulang ke rumahnya dan bertemu dengan orang tuanya, bagi dirinya ia perlu untuk membulatkan tekad namun ia juga sudah berencana untuk membawanya saat pesta anniversary orang tuanya.

"Selamat datang di gubuk ku yang sederhana ini tuan putri."

"Kemampuanmu merendah diri patut untuk mendapatkan piala penghargaan Ngga." Kata Delilah sambil melangkahkan kakinya memasuki apartemen Rangga. Rangga tertawa renyah, ia menutup pintu dan menghampiri Delilah yang sudah berdiri di meja pantry menggenggam botol wine yang tersisa hanya setengah, bekas semalam ia menghangatkan tubuhnya.

"Apakah kamu merayakan sesuatu tanpa aku Rangga?" Tanya Delilah dengan nada sedih.

"Hanya menghangatkan tubuh semalam, sayang." Rangga memeluk tubuh Delilah dari belakang, jarak di antara mereka berdua sangatlah minim. Delilah pun dapat merasakan hembusan hangat yang dikeluarkan oleh Rangga di tengkukya.

"Jadi, hal apa yang ingin kau bicarakan sehingga membutuhkan ruangan yang lebih pribadi, sayang?" Tanya Rangga tangannya mulai meraba tubuh Delilah mengabsen dengan jarinya sendiri.

"Kamu tahu apa yang aku mau Rangga." Delilah membalikkan badannya menghadap Rangga, ia menyerahkan segelas wine padanya.

"Aku benar-benar tidak tahu, sayang. Katakanlah." Rangga meneguk habis wine yang diberikan oleh Delilah, dengan pergerakan yang sangat rapih ia berhasil memasukkan obat perangsang tanpa diketahui oleh Rangga.

Delilah tidak mengatakan apapun, ia hanya memainkan kancing kemeja yang Rangga kenakan. Dengan telaten ia membuka jas kerja Rangga dan meletakkannya asal di atas meja pantry. "Argh.." sebuah erangan lepas dari bibir Rangga saat Delilah dengan beraninya menyentuh area sensitif Rangga yang mulai mengeras.

"Sayang, kau benar-benar membuatku semakin gila." Racau Rangga yang menikmati permainan tangan yang Delilah berikan. Rangga yang tak dapat menahannya lebih lama lagi menyambar bibir ranum Delilah dengan rakus, langkah kaki mereka perlahan tapi pasti membawa ke kamar Rangga menyelesaikan hal-hal yang harus dituntaskan dengan segera.
.
.
.
Halo semuanya hihihi aku kembali, sebenernya aku pengen upload sabtu Minggu lalu cuma kesibukan memaksa untuk baru bisa upload sekarang :(
Terimakasih yah atas support yang terus kalian kasih ke aku 🥰 jangan lupa untuk vote dan komen yups
.
.
.
-Puan






My Devil Husband Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang