9. batu

714 100 16
                                    

Naruto menghela nafas pelan, Hinata itu keras kepala sekali. Usianya sudah hampir 20 tahun tapi mencoba mengalah dan memahami situasi dia benar-benar tidak mau. Gadis kepala batu! Julukan itu memang layak di sematkan pada Hinata.

Pemuda itu masih berkutat dengan tumpukan kertas yang harus dia selesaikan malam ini. Tugas sialan! Untuk pertama kalinya Naruto mengumpati tumpukan makalah ini, padahal biasanya dia menikmati waktunya belajar seperti ini. Semua karena Hinata, dampak gadis itu begitu besar di kehidupannya yang tenang.

Jika tau jatuh cinta akan merepotkan seperti ini  Naruto tidak akan membiarkan hatinya di rebut oleh sahabatnya itu. Dia tidak mau jatuh sendirian seperti ini, biar bagaimanapun perasaannya akan membesar kian hari.

"Baiklah ayo selesaikan dan temui dia di sana." gumamnya lalu mengerjakan tugasnya dengan cepat.

***
Hinata  sibuk membantu Ino dan sakura menyusun tempat tidur, mereka akan tidur bertiga hari ini.

"Hinata lo gapapa?" tanya Sakura saat melihat wajah Hinata yang terlihat murung. Ia jelas kepikiran Naruto, apa pemuda itu masih marah padanya? Apa dia berlebihan? Entahlah Hinata tidak mengerti.

"Aku gak papa, ayok lanjutin." ujar Hinata ia memasukan bajunya kedalam lemari yang tersedia di sana. Ino dan Sakura mengangguk mereka melanjutkan kegiatan mereka.

Setelah selesai mereka memutuskan untuk turun dan bergabung dengan yang lainnya. Mereka berada di tanah lapang yang berjarak lumayan jauh dari vila tempat tinggal, untuk mencapai tempat ini mereka harus berjalan kaki dan menuruni tebing yang tak begitu curam. Mereka terlihat sibuk menyusun kayu-kayu untuk membuat api unggun ada pula beberapa orang yang sibuk memanggang daging untuk menu makan malam mereka nanti.

Sakura menyusul kerumunan orang yang tengah memasak sementara Ino gadis pirang itu menuju tempat membuat api unggun. Hinata bingung dia harus kemana, dia tidak pandai memasak tidak mungkin dia membantu Sakura di sana. Menyusul Ino? Rasanya tidak mungkin dia berani di sana ada terlalu banyak lelaki yang membuat Hinata tidak nyaman.

Dia bingung, pada saat seperti ini tiba-tiba Hinata merindukan Naruto. Andai dia menuruti pemuda itu, Hinata menggeleng mengenyahkan pikiran itu dari kepalanya. Dia tidak boleh memikirkan Naruto. Hari ini saja dia harus bisa tanpa pemuda pirang itu.

Hinata berlari keci menyusul anak-anak yang sedang menyiapkan tempat makan, jika dia tak bisa membantu memasak setidaknya ia bisa membantu menyiapkan tempat.

"Hey, boleh aku gabung?" tanya Hinata pada salah seorang gadis di sana. Gadis itu mengangguk menyetujui.

"Lo anak baru itu kan? Hyuga Hinata?" tanyanya.

"Iya, salam kenal.." ujar Hinata sambil terseyum.

"Salam kenal, gue Fuu.."

Hinata mengangguk ia banyak berbicara dengan Fuu, gadis itu sangat mudah bersosialisasi membuat Hinata yang memang kurang pengalaman dalam hal berteman merasa beruntung. Mereka sibuk mengobrol hingga tanpa sadar hujan turun dengan derasnya. Hinata terkejut dan refleks berlari mencari tempat meneduh, ia benci hujan malam hari. Sejak kecil dia sangat tidak suka hujan di malam hari, karena itu membuatnya mengingat hal buruk di kehidupannya.

Tempat mereka mengadakan acara memang cukup jauh dari vila membuat mereka terpaksa berlari mencari tempat meneduh seadanya.

Gadis itu berlari kecil mencari-cari tempat berteduh hingga tanpa sadar kakinya malah membawanya masuk kedalam hutan. Penerangan yang minim di tambah perasaan Hinata yang tengah tak karuan membuatmya tidak fokus, ia asal berlari dan mencari tempat yang aman untuk meneduh.

Hingga ahirnya ia menemukan sebuah pondok tua, Hinata menghela nafas lega ia segera menepi ke pondok itu. Namun saat ia berbalik seketika itu juga tubuhnya menegang.

Ia di mana?

Tempat ini sangat gelap dan mencekam. Hujan turun dengan lebat dan perlahan petir menyambar bersahut-sahutan. Tubuh Hinata bergetar ketakutan, ia benci hujan dan gelap apa lagi di tambah petir menyambar. Hinata benar-benar ketakutan.

Bayangan-bayangan tentang masa lalunya yang mengerikan tiba-tiba terlintas, tangisan ayahnya makian Kakaknya tiba-tiba terngiang di kepala Hinata.

"Gadis gak berguna! Lo penyebab Ibu meninggal! Harusnya lo yang mati!" kata-kata itu terus berputar di kepalanya seperti kaset rusak.

"Aku bukan pembunuh! Bukan!" jerit Hinata tanpa sadar, ia meringkuk di sudut pondok itu. Petir menyabar begitu menggelegar dengan angin bertiup kencang, kegelapan menyelimuti hutan itu membuat jantung Hinata kian terpacu kencang.

Hinata menangis, dia ketakutan dan di saat seperti ini dia sendirian. "Naruto.." gadis itu menangis sambil menutup telinganya sendiri. Dia benci, benci pada dirinya sendiri yang lemah.

"Naruto tolong.." panggil Hinata lagi namun hanya suara petir dan hujan yang menyahut. "Kamu di mana.." isaknya.

Hinata terkejut saat mendengar suara seseorang mendekat, jatungnya kian di pacu kencang saat merasakan hawa keberadaan orang itu kian mendekat.

Hujan masih belum reda dan ketakutannya membuat hatinya tak karuan.

Seseorng lelaki tiba-tiba berdiri di hadapan Hinata, wajahnya tersamarkan kegelapan membuat Hinata tidak bisa melihat dengan jelas. Namun insting Hinata memaksanya untuk memghindari orang itu, dia dalam bahaya itu yang terlintas di pikirannya.

"Butuh teman, cantik?" sebuah suara terdengar begitu mengerikan terbias oleh guntur dan angin yang menggelegar.

Tubuh Hinata bergetar hebat, laki-laki itu mendekat dan menarik tangan Hinata dengan kasar hingga gadis itu berdiri. "Kesepian hm?" ujar lelaki itu lagi.

Hinata ketakutan, "Lepas.." dia berusaha melepaskan cengkramannya namun nihil pemuda itu mencekal tangannya begitu kuat.

"Kenapa buru-buru cantik? Aku bisa menenamimu hingga hujan reda." ujarnya dengan senyum iblis yang sukses membuat tubuh Hinata meremang.

'Kelemahan lelaki ada di selangkangannya, tendang itu sekuat mungkin jika kau dalam bahaya.' tiba-tiba perkataan Naruto terlintas di kepalanya. Tanpa pikir panjang Hinata menendang alat kelamin pria itu dengan sekuat tenaga dan benar saja orang  itu melepaskan tangannya.

Pria itu mengerang kesakitan sambil memegang selangkangannya, tanpa pikir panjang lagi Hinata berlari mencari pertolongan. Kakinya berlari menerjang hutan memerobos hujan dan petir yang masih menggelegar. Dia ketakutan namun dia harus tetap berlari.

"Naruto tolong aku.." isak Hinata sambil berlari. Kendati tungkainya lemas dia terus memaksa untuk bergerak. Suara-suara mengerikan itu seperti melodi kematian di telinganya membuat gadis itu hanya bisa menangis dan menangis.

Dia tidak bisa memikirkan siapapun di situasi seperti ini, otaknya kacau hatinya kalut. Hanya ada satu nama yang selalu ia sebut tanpa sadar dalam kondisi seperti ini, Namikaze Naruto. Satu-satunya harapan yang selalu Hinata percaya akan datang meski itu mustahil.

"Naruto.."


Next____

Hey hey hey..
Adakah yang menunggu?

S N O W | Namikaze Naruto ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang