16. Attack

1.2K 97 14
                                    

Hinata berjalan gontai, mentari bersinar terik seolah mentertawakan hatinya yang mendung. Di cuaca sepanas ini Hinata merasakan hatinya kedinginan. Dia  rindu seseorang, rindu peluk dan dekapan hangatnya. Namikaze Naruto, pemuda kepala batu itu masih saja menjauhinya padahal Hinata telah melakukan banyak cara untuk mendekatinya lagi namun respon pemuda itu sungguh menjengkelkan. Dia mengabaikan Hinata.

Ketahuilah kalian semua, tingkat marah yang mengerikan itu bukan yang di pukul habis-habisan atau di maki-maki. Marah yang sangat mengerikan adalah diam. Ketika seseorang mendiamkan mu karena dia marah, selamat. Anda dalam masalah besar sekarang.

Hinata memang masih anak kecil, kalian tau sendiri bukan. Dia masih sangat manja dengan Naruto jadi ketika Naruto mengabaikannya hari-hari Hinata hanya di isi tangisan. Dia sering lupa di mana kaus kakinya, lupa sarapan, bahkan lupa di mana dia meletakan buku paketnya. Miris. Hinata berantakan tanpa Naruto.

Kenapa mereka tidak berbaikan saja?

Salahkan ego yang mempersulit semuanya.

Hinata melangkah tanpa arah dan tanpa sadar kaki mungilnya berjalan menuju apartemen Naruto. Lah kok? Entahlah, Hinata juga tidak tau sebabnya kenapa dia berjalan ke sini. Mungkin karena terlalu rindu pada pemuda itu.

Hinata berdiri di depan gerbang tanpa berniat masuk, dia menatap pintu kayu bercat biru itu lamat. Rindu sekali dia akan suasana di dalam sana. Tanpa pikir panjang gadis itu membuka pagar dan masuk ke teras apartemen.

Kosong, dan berantakan. Banyak rumput dan sampah-sampah tidak di bereskan. Sebenarnya kemana Naruto selama ini kenapa apartemennya bisa seberantakan ini?

Hinata sibuk membersihkan halaman yang tak terlalu luas itu sambil menggerutu, setaunya Naruto itu tidak suka rumah kotor. Dia pembersih bahkan dia lebih suka bersih-bersih daripada Hinata. Tapi lihat sekarang? Dia sangat berantakan!

"Kamu tuh sebenernya ke mana sih Nar, udah kaya rumah di tinggal mengembara aja kotor gak terawat." dengus Hinata.

Gadis itu terlalu sibuk membersihkan halaman itu hingga tanpa sadar seseorang berdiri di belakangnya sambil bersedekap tangan. Hinata merasakan tengkuknya meremang seperti ada aura tajam yang memperhatikannya dari belakang. Gadis itu menoleh takut-takut dan benar saja ada sesorang yang yang tengah menatapnya dengan tatapan setajam elang.

Namikaze Naruto, pemuda itu menatap Hinata tajam sampai Hinata kesulitan bernafas karena tatapan matanya yang menusuk ulu hati.

"N-nar, k-kamu udah pulang?" tanya Hinata gagap. Entah kemana perginya keahlian bicaranya yang biasanya melebihi kecepatan kuda, sekarang malah menyamai kecepatan koala. Lambat.

"Udah, lo gak liat gue berdiri di sini?" masuk akal juga tapi maksud Hinata hanya berbasa-basi, entah kenapa Naruto  berubah mejengkelkan sekarang. Apakah semua orang patah hati akan berubah seperti ini?

"S-sorry," gumam Hinata pelan.

"Balik sono, sakit mata gue liat lo di sini." ketus Naruto. Hinata  menunduk lesu, gagal sudah rencana meminta maaf karena Naruto sepertinya tidak ingin di ganggu. Mungkin bisa lain kali.

Naruto masuk ke dalam unit apartemennya bahkan tanpa menawari Hinata masuk, miris. Hari sudah senja dan langit mendung pekat, kali ini langit sepemikiran dengan Hinata. Mungkin rasa sakit Hinata telah sampai di langit hingga hujan dan awan akan mewakili tangisannya. Mungkin saja.

Hinata baru saja  hendak keluar dari gerbang tiba-tiba hujan turun dengan begitu derasnya. Menyesal Hinata sependapat dengan langit karena nyatanya dia benci hujan, hujan dan petir adalah musuh abadinya. Dua hal yang selalu membuatnya ketakutan hingga kini. Hinata berlari ke teras apartemen Naruto, hujan angin kian mengguyur Hinata berharap tidak ada petir hari ini karena dia sedang sendirian sekarang.

Namun sepertinya langit memang sedang memusuhinya, petir datang menggelegar seiring badai yang kian kencang.

"Naruto.. aku takut." dan tangisan itu pecah. Hinata lemah terhadap  hujan dan petir. Sangat takut.

***

Naruto berbaring di sofa sambil menutup wajahnya dengan lengan kiri, matanya terpejam namun kepalanya berputar ke mana-mana. Tidak begitu jauh juga karena sedari tadi hanya Hinata lah yang mengisi kepalanya. Bucin.

"Lo ngapain ke sini sih?" ujar Naruto frustrasi sambil mengacak surainya. Ketika melihat Hinata di sana entah kenapa Naruto merasa usahanya menjauhi Hinata sia-sia.

Ketika matanya menatap netra amethyst yang menenangkan itu pertahanan Naruto seketika hancur, mata itu berbinar redup seolah menjerit meminta kembali ke pelukannya. Tapi sekali lagi Naruto di tampar kenyataan, dia tidak lebih dari sekedar sahabat untuk gadis itu. Dia tidak berarti apa-apa. Berada di sekitar gadis itu sama saja menghancurkan dirinya sendiri. Miris.

"Bego banget sih jadi cewek," gumam Naruto kesal. "Lo bisa cari cowok lain Nat, kenapa baliknya ke gue lagi sih bangsat?! Gue capek." monolog Naruto sambil menutup matanya. Kepalanya pening luar biasa, rasa rindu dan kecewa ini hampir membuatnya gila. Menjerat dan mengikat kian erat hingga ia sesak. "Anjing banget sih ah," umpatnya lagi.

Tiba-tiba terdengar suara guntur menggelegar, dan detik itu juga Naruto teringat Hinata. Dia melompat dari sofa hendak berlari ke apartemen Hinata namun baru beberapa langkah kakinya terhenti dan tatapan matanya menyendu. "Gue bego banget sih, ngapain gue khawatirin orang yang bahkan gak peduli sama gue?" Naruto kembali ke sofa kini posisinya duduk dan meletakan kepalanya di sandaran sofa. "Bucin sama orang yang bahkan gak suka sama gue, miris banget sih idup gue."

Lah baru sadar?

Naruto menghela nafas berat, nyatanya mengabaikan Hinata memang tidak semudah itu untuknya. Petir menggelegar dan badai kian kencang bahkan dingin itu mampu menusuk ke dalam ruangan yang tertutup rapat ini.

Entah kenapa Naruto  gelisah, pikirannya berkecambuk tentang Hinata dan Hinata.

Apakah gadis itu baik-baik saja?
Apa dia memeluk bonekanya?
Apa dia menggunakan kaus kakinya?
Apakah dia mengganti bajunya?

Pertanyaan-pertanyaan yang mungkin menurut kalian tidak berguna itu malah sangat penting bagi Naruto.

"Ah sialan! Persetan aku hanya mengeceknya! Bukan peduli atau khawatir!" Naruto melompat dari sofa lagi lalu mengambil mantel hujannya.

Tepat saat dia membuka pintu tiba-tiba seseorang terjatuh sambil memeluk lututnya.

Jantung Naruto seperti di lepas paksa.

Di hadapannya, Hinata tengah memeluk lututnya dengan raut wajahnya yang kosong. Matanya sembab pipinya memerah kedinginan.

Berarti sedari tadi gadis itu masih di depan apartemennya?

Nafas Naruto tercekat. Buru-buru dia menggendong Hinata masuk kemudian membawanya ke kamar. "Nat maafin aku, jangan sakit lagi Nat jangan.." pemuda itu berlari panik menuju kamarnya.

Seketika emosinya meluap berganti khawatiran yang mendalam. Dia takut, mungkin egonya memang besar tapi kehilangan Hinata adalah mimpi buruk dari yang paling buruk untuk Naruto. Itu sangat mengerikan untuknya.

"Pliss Nat," ujarnya dengan suara serak menahan tangis.

Next___

S N O W | Namikaze Naruto ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang