"Ja, kemana?"
Raja yang merasa terpanggil akhirnya menoleh ke sumber suara. "Ke atas, mau bilangin ke temannya."
Rhys merebut tas Zisel dari tangan Raja. Lalu gantian Rhys menyodorkan rok ke Raja. Rhys menjelaskan sedikit apa maksudnya. Raja mengangguk menyetujui permintaan Rhys.
Raja masuk lagi untuk memberikan rok putih yang dia bawa dari Rhys. "Zi, ganti dulu! Nanti masuk angin."
"Ja, ini ...."
"Udah ganti dulu sana! Lantainya mau gue pel dikit." Raja mendorong tubuh Zisel hingga masuk ke kamar mandi.
Sebelum ganti Zisel mengusap pelan kain putih yang dipegangnya.
Raja baik banget.
Selesai ganti, Raja berniat mengantarkan Zisel ke kelasnya karena temannya belum terlihat sampai sekarang. Dia juga melirik kaki Zisel yang membiru dan jalan yang sedikit pincang.
"Lo enggak papa, kan, Zi?"
Zisel tersenyum. "Lo tenang aja. Makasih banyak ya, Ja. Oh, iya? Rhys mana?"
"Dia–"
Ucapan Raja terpotong karena dari luar uks terdengar suara Liona yang ribut dengan Raisa. Liona membuka pintu uks dengan kencang. "Zi, bagian mana yang sakit?" Liona memutar-mutar badan Zisel
"Na, kaki Zisel bengkak. Pelan-pelan."
•••
"Itu Raja!" seruan Bisma membuat Rhys dan Andre menoleh menatap Raja.
"Gimana Zisel?" tanya Rhys berusaha menetralkan ekspresinya.
"Aman. Ini disuruh ngerjain apa?"
"Rangkum bab 4 - bab 6, Raja!" sahut bu Mina menurunkan sedikit kacamatanya.
"Ngapain dirangkum kalau udah ada di buku, Bu," gerutu Raja sambil mengeluarkan bukunya di dalam tas.
"Yang kurang setuju boleh keluar." Ucapan Bu Mina membuat Raja diam seribu bahasa.
•••
Bel yang ditunggu berbunyi, di kantin Liona dan Raisa berpapasan dengan Rhys, Andre, Raja dan Bisma.
Raja menepuk pundak Liona. "Zisel ke mana?" tanyanya.
"Masih sakit, kakinya bengkak. Ini dia nitip makanan." Liona menunjukkan uang yang berada di genggamannya.
"Ndre, nitip cola satu. Entar ketemuan di kelas aja. Gue mau ke atas." Andre mengangguk menerima 1 lembar uang dari Rhys.
Sesampainya di depan kelas Zisel, Rhys sempat bertanya kepada teman kelas Zisel hanya untuk memastikan saja Zisel benar ada di dalam atau tidak.
"Zi?" panggilnya.
"Lo ke sini, nggak ke kantin?" tanya Zisel menengok ke arah depan kelas. "Mana Liona?" lanjutnya.
Rhys menghiraukan pertanyaan Zisel, dia berjongkok memperhatikan kaki Zisel. "Pulang aja, ya?" tanyanya menatap Zisel serius.
"Nggak mau, udah nggak sakit kok," alibinya. Rhys juga tahu itu, pergelangan kakinya membengkak. Ketika Rhys ingin menyentuh tiba-tiba Zisel langsung menarik kakinya paksa. Suara benturan kaki dengan meja terdengar. Zisel meringis kesakitan.
"Zi, maaf-maaf." Rhys mengipas kaki Zisel dengan tangannya. Zisel menepis tangan Rhys. "Nggak bikin sakitnya reda. Mama ...." Zisel berusaha menahan air matanya.
"Gue izinin ke guru bentar. Nggak usah batu!" Rhys keluar kelas menuju ruang guru mencari wali kelas Zisel dan guru piket.
Tidak lama setelah Rhys pergi, Liona berteriak heboh. Tangannya yang lentik terangkat membawa rice box pesanan Zisel. Mendengar suara Liona, Zisel segera mengubah raut mukanya sebisa mungkin.
"Heh, Berisik!" Liona tertawa sumbang lalu menyodorkan kotak makanan itu.
"Tadi Rhys ke sini nggak?" tanya Liona duduk di kursi depan Zisel. Zisel pun mengangguk.
"Kok nggak dimakan?" tanya Liona melihat Zisel yang tidak menyentuh sama sekali rice boxnya.
"Zi, ayo!" Rhys datang dengan tas yang tersampir di bahu kanannya.
"Loh ... loh ... kemana?" Liona berdiri di depan Zisel tangannya menghadang Rhys.
"Pulang. Lo minggir temen lo lagi nahan sakit."
"Zisel nggak papa kok tadi. Dia barusan gue beliin rice box!" bantah Liona.
"Lo nggak pengen temen lo kenapa kenapa, kan?" Pertanyaan Rhys membuat Liona menggeleng tegas.
"Na, gue pulang, ya ... bilangin Raisa," pinta Zisel mengelus bahu Liona.
Liona terpaksa mengangguk dengan ekspresi sedihnya. Dia ingin memberikan bantuan ke Zisel, tetapi Zisel menolaknya karena bel sudah berbunyi. Meskipun sebenarnya sakit, dia yakin masih mampu berjalan pelan-pelan.
"Masih mending sama Raja, guenya digendong," gumam Zisel yang masih terdengar di telinga Rhys dengan jelas.
Zisel berdecak pelan. "Denger, tapi nggak diladenin. Rhys ... sumpah sakitnya nggak bisa ditolerir," Zisel terduduk di anak tangga paling terakhir.
"Zi, lo ngapain duduk di situ?" tanya Raja membawa tumpukan lks di tangannya.
Kedua tangan Rhys terangkat. "Ja, gen–"
Tiba-tiba tangan Rhys menggengam tangan Zisel lalu membantunya berdiri. "Nggak papa, Ja. Dia cuman capek. Duluan, Ja." Raja hanya diam tidak membalas. Rhys kemudian memapahnya hingga ke parkiran untungnya bel sudah berbunyi, jadi tidak banyak orang yang tahu.
Zisel membuka pintu mobilnya terlalu kuat alhasil kakinya lagi-lagi terbentur. Zisel menggigit bibir bawahnya menahan jeritan yang bisa mengumpulkan orang di sekitarnya.
"Lo ceroboh banget Zisel."
•••
"Mama ...."
Mamanya yang merasa terpanggil keluar dari belakang lengkap dengan apron orange yang menempel di badannya. Matanya melirik jam dinding yang menempel, lalu berubah melotot.
"Masih jam segini? Kok udah pulang? Wah, bolos ya, kalian?" tanya mamanya menaruh kedua tangannya di pinggang.
"Tante ..."
"Apa? Oh, mau cobain resep barunya tante nggak? Tante habis bikin semur–"
"Mama kaki aku habis kepleset makannya pulang." Dengan mulut penuh makanan Zisel mengucapkan itu dan berusaha menyibakkan roknya dari kakinya.
Mamanya yang melihat memar di kaki anaknya langsung buru-buru menghampirinya setelah meneliti dirinya kemudian mencoba menelfon sang suami beberapa kali untuk memberi tahu kabar anaknya, tetapi gagal, panggilannya daritadi tidak terjawab.
"Mama tenang, jangan mondar-mandir!" Zisel malah jadi pusing sendiri melihat mamanya yang sangat panik.
"Rhys anterin ke rumah sakit, bisa?" Rhys mengangguk sebagai jawaban iya.
"Ma, lepas apronnya dulu."
Sesampainya di rumah sakit Zisel harus melakukan foto rotgen dan CT scan untuk pemeriksaan lebih lanjut.
Tinggalin jejak ya!
Bantu support lewat vote!
KAMU SEDANG MEMBACA
OWNER KOS [END]
Teen Fiction⚠️ Cerita serupa di wattpad maupun lapak lainnya itu plagiat. Pernahkan kalian merasakan jatuh cinta dengan penghuni kos milik kalian sendiri? Aku pernah. Penghuni kos di kamar pojok bawah, dengan sikap dinginnya menjadikan diriku tertantang untuk...