Prolog

12.6K 725 17
                                    


"Ah... Ten hyung sudah pergi. Aku sendirian.." Gumam manusia mungil itu.

"Dingin... Kapan aku bisa merasakan rumah?"

"Aku ingin menjadi yang berguna sebelum aku mati. Sekali saja. Dan-"

"Berisik!" Bentak seseorang dari tempat sebelah.

Tubuh mungil itu tersentak kecil saat seseorang berteriak padanya. Huang Renjun, yang lemah dan tak sekuat lainnya.

"Tutup mulutmu atau aku yang akan menjahit nya, sialan!" Dia lagi.

"Maaf hyung."

"Dengar, kami semua disini menderita sepertimu. Jadi jangan menganggap dirimu spesial atau ISTIMEWA! Tidak ada yang istimewa disini!"

"Keistimewaan adalah ilusi untuk kita. Kita dilahirkan tanpa alasan, HUANG!! Kita adalah sebuah kesalahan!"

"Yak yak yak. Kalian sangat berisik. Berhenti berteriak yang disana."

Semua kata kata itu sudah sering Renjun dengar bukan sekali dua kali. Itulah sebabnya dia melemah. Mentalnya sudah tak sekuat dulu.

Dan semua orang.. Akan lemah pada akhirnya.

Jadi Renjun normal kan?

*
*
*
*
*

"Huang-"

"Dimana huang Renjun?"

"Oh shit! Huang Renjun kabur, bos."

"Hahahaha. Aku senang si Huang itu pergi. Kalian tidak akan menemukan nya." Ucapnya meremehkan.

"Aku akan menemukannya, siapa namamu sebenarnya?! Ada di pihak mana hah? Ck."

Bos mereka berdecak kesal, memerintah anak buahnya untuk menyisir area perbatasan. Tapi dia tidak ditemukan.

Si pemuda Huang tidak ditemukan.

Sementara itu, dia yang sekuat tenaga menggali lubang kecil-sangat kecil- untuknya pun berhasil keluar. Tangannya luka luka.

Dia berjalan tertatih tatih sambil orang lain menatapnya dengan aneh.

"Maafkan aku, Renjun. Aku minta maaf.." Ucapnya saat dia tengah istirahat di pinggir jalan.

Sudah cukup malam.
Sudah cukup lelah.

"Aku- hiks. Maafkan aku.... Aku tidak bisa tanggung jawab dengan tubuhku sendiri lagi. Hiks. Maafkan aku, Tuhan.. Aku terlalu lemah untuk-"

"Permisi."

Renjun mendongak. Bayangan seorang pria, baunya harum. "Bawa dia."

Yah...
Tujuan lain dari hidupnya.

Renjun tak melawan, apa gunanya?

*
*
*
*
*

Rumah besar. Entah apa ini bisa disebut rumah, menurut Renjun. Ini istana. Sangat mewah.

"Duduk."

Renjun menurut. Duduk di sofa, orang itu di hadapannya. "Mulai hari ini kamu bekerja di sini. Setiap pelayan memiliki pekerjaannya masing masing. Jadi kamu harus bertanggung jawab."

Pelayan pelayan?
Dimana?
Disini tidak ada siapa pun.

"Para pelayan sudah pulang. Mereka berangkat pukul 6 pagi dan pulang pukul 5 sore. Setiap hari. Jika ada halangan, beritahu saya. Saya mengijinkan, kamu mungkin belum mencari tempat tinggal. Kamu boleh menempati kamar pelayan untuk beberapa saat."

"Jangan pernah bicara pada saya kecuali saya yang mengajak bicara lebih dulu. Disini identitas semua orang dirahasiakan."

"Panggil saya tuan. Kamu adalah pelayan saya yang ke 23. Jadi saya akan memanggil anda, 23. Ini mungkin terlihat kejam. Tapi dunia itu keras. Saya tidak menganggap siapa pun spesial atau istimewa disini. Kamu akan menerima setiap bulannya, gaji. Dan itu tergantung kinerja."

"Semua pelayan memiliki penghasilan berbeda beda."

Jeno menatap Renjun. Tatapannya terlihat memelas (?) tapi juga serius di saat yang bersamaan. Walau penampilannya kotor, lelaki itu bisa melihat wajah Renjun yang sebenarnya sangat cantik.

"Saya tidak tau apa keahlianmu. Jadi kamu akan bekerja di belakang. Kamu akan mencuci semua pakaian yang saya pakai, lalu melipatnya dengan rapi. Jika sudah semua, antar ke kamar saya. Paham?"

Anggukan itu hampir membuat Jeno tersedak liurnya sendiri. Rambutnya yang ikut bergerak, pipinya yang menggembung seakan ingin menjawab tapi ia takut padanya.

"Jangan ceritakan masa lalumu pada siapa pun termasuk saya. Identitas, semua tentangmu harus dirahasiakan."

"Bagus. Kita sekarang akan ke kamarmu."

Jeno bangun dari duduknya. Renjun ikut bangun, mengekorinya dari belakang.

Agak jauh.

Mereka berdua berhenti berjalan saat mendengar sesuatu. Bunyi perut Renjun.

Jeno membalikkan badan. "Maaf tuan.." Ucap Renjun pelan.

Sangat malu. Sudah diberi pekerjaan dengan cuma cuma dan dia memberi kesan buruk.

"Saya bilang jangan bicara jika saya tidak menyuruh anda bicara."

"Baik. Kamu tidak bisa masak. Tunggu di kamarmu."

Renjun tidak tau kamarnya dimana. Dan dia adalah pelayan. Hah! Kamar terkecil. Pasti itu.

"Ya, tuan." Jawab Renjun berlari kecil kesana.

Jeno menggeleng. Memesankan makanan untuk The New One itu. Beberapa menit kemudian makanan itu sampai.

Dia melangkah cepat ke deretan kamar pelayan, untuk jaga jaga jika mereka belum punya rumah. Ada sekitar 4 kamar yang tiap kamar berisi 3 ranjang.

Firasatnya mengatakan si kecil itu akan tersesat.

Semua pintu kamar di buka dan dia tidak ada disana. "Very good, Lee." Ucapnya sendiri.

Dia melangkah lebih dalam. Disana sudah gudang. Dan sekarang dia agak menyesal karena tidak mengetahui nama anak itu. Apalagi disana gelap.
Ck.

"23." Gumam Jeno.

Dia melihat seseorang disana. Berlari secepat mungkin.

Berlari? Baru Renjun yang bisa membuatnya berlari seperti ini.

"Yak!" Jeno menarik tangannya.

Mata anak itu berkaca kaca, tubuhnya bergetar hebat, bahkan detak jantungnya bisa Jeno rasakan di tengah kegelapan ini. Dia menggigit bibirnya berusaha menahan tangisan, melepas pegangan tuannya.

Membungkukkan badan. "Kamu berjalan terlalu jauh."

Tangan Jeno tergerak sendirinya untuk menarik si kecil ke pelukannya. Ada apa dengannya? Semua begitu tidak jelas, Jeno juga menyangkal semua yang hatinya katakan. Tapi tidak dengan tubuhnya.

"Maaf- hiks. Maaf tuan.."

"Tidak. Ini salah saya meninggalkanmu sendiri. Berhenti menangis, sini."

Jeno memegang tangan Renjun, menariknya pelan menjauh dari tempat gelap itu. Dia yang punya rumah aja jarang masuk ke situ. Jujur, Jeno takut disana sendirian.

Ya... Dia orang yang penakut. Sebenarnya.

Mereka sudah di kamar. Jeno mendudukkan anak itu di kasur. "Ini kamar pelayan. Kamar pelayan tidak selamanya kecil, 23."

Dua tiga.
Nama barunya.


















































VOTE. Ya. VOTE.
Komen.

Astaga. Tolong lah.

☀️  ☁️  ☁️  ☁️
🐄🐄🐄🐄🐄
🌾🌾🌾🌾🌾🌾

NoRen: YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang