Jaemin menghela napas untuk ke sekian kalinya. Melangkah menjauh dari tempat ia berdiam diri selama satu jam yang lalu. Eksistensi pria lain di sana ia acuhkan membuat pria itu berdecak.
"Mau kemana sekarang?"
"Ke apart."
Pria manis yang merangkap menjadi sekretaris sekaligus teman curhat Jaemin ini mendengus kesal tetapi tetap membawa mobil atasannya membelah jalanan kota.
Sudah tahun ketiga ia bekerja dengan Jaemin, membuatnya hafal betul kebiasaan Jaemin setiap minggunya. Mengunjungi landasan udara saat akhir pekan. Jika dirinya sedang senggang maka ia akan menemani Jaemin seperti sekarang ini.
"Sampai kapan lo mau nungguin dia kayak gitu, Jaem? Susulin dia, kalo emang cinta ya perjuangin."
"Lo ngomongin cinta kek pernah ngerasain aja."
"Ya meskipun gue ga pernah ngerasain tapi gue bisa mengamati orang-orang di sekitar. Gue hidup udah 25 tahun, udah khatam sih dalam mengobservasi kisah cinta orang lain."
"Emang ya, kalo ga ngerasain sendiri pasti lebih pinter nasehatinnya."
"Cih, lo baru tau gue pinter? Kinerja gue sebagai sekretaris dua tahun ini bagus, bisa-bisanya lo baru sadar."
Jaemin tertawa sebelum atensinya beralih pada persegi panjang yang ia pegang. Bundanya menelepon dari seberang sana.
"Halo Bun?"
"..."
"Oke Nana pulang sekarang."
"..."
Jaemin meminta sekretarisnya memutar arah menuju rumah ayahnya. Kata sang bunda, anaknya rewel terus memanggil nama Jaemin.
Lima belas menit kemudian kedua pria ini sudah berada di kediaman orang tua Jaemin. Bisa Jaemin lihat putranya sedang berada di gendongan seorang yang eksistensinya ia rindukan.
"Jeno?"
Pria bermata bulan sabit ini menoleh dengan senyum kecil di wajah tampannya. Jaemin menahan diri untuk tidak menubruk tubuh yang lebih tua. Ia mengambil alih putranya yang tampak menahan kantuk.
"Papa home.."
"Oke kita pulang ya,"
Jaemin meninggalkan rumah orang tuanya dengan menarik lengan Jeno. Ia butuh klarifikasi perginya Jeno dan akan menjelaskan pula keadaannya.
"Ren, kalo mau pulang pake mobil gue aja."
Tanpa menunggu persetujuan dari sang lawan bicara, Jaemin dan Jeno sudah berlalu dengan si kecil di gendongan.
"Jio mau susu?"
Si kecil menggeleng dan menumpukan kepalanya di pundak sang papa. Jeno gemas tetapi hatinya juga sakit karena Jaemin sudah memiliki seorang anak. Apa mungkin tidak ada tempat lagi baginya di hidup dan hati Jaemin?
Balita 3 tahun itu kini sudah terlelap. Menyisakan dua pria dewasa yang sama-sama saling menatap sampai salah satunya berceletuk,
"Ga kangen sama gue?"
Keduanya memeluk erat satu sama lain. Saling merindukan eksistensi masing-masing menyalurkan afeksi dalam anomali. Euforia yang tercipta bagai menimbulkan ribuan kupu-kupu datang menghinggapi. Untuk pertama kalinya, Jaemin tersenyum tulus penuh bahagia sejak ditinggal oleh yang tercinta.
Ciuman penuh rasa tak terelakkan bagi dua anak adam yang lama saling menginginkan. Pergerakan keduanya lembut namun sedikit menuntut sedikitnya membuat kaki Jeno melemas bagai jelly. Tetapi Jaemin menahannya dan membawa tubuh tegap itu di sofa saling berdampingan.
KAMU SEDANG MEMBACA
pandemi [JJ]✔
RandomIni bukan soal wabah, ini tentang penyatuan dua orientasi anak Adam yang berbeda namun dianggap sama. Nomin to Jaemjen versatile/seke