15

8 4 0
                                    

«ʜᴀᴘᴘʏ ʀᴇᴀᴅɪɴɢ»

Jam terus berputar , hari terus bergulir , dan perkembangan tubuh Fio mulai tampak. Cano dan Lala selalu bergantian menjaga Fio , gadis yang awalnya selalu menatap dengan pandangan kosong itu mulai berangsur pulih. Dulu Fio yang tidak bisa diajak berbicara mulai bisa merespon walau hanya bergumam atau menggeleng , dia sudah bisa tersenyum saat Lala bercerita hari-harinya disekolah tanpa Fio. Dan Fio sudah bisa melirik sinis saat Cano mulai bertingkah konyol kepadanya , "Fio .... lo kapan bangun si? Bosen tau cuma liatin lo tidur...."

"Buka mata dong..." ucap Lala dengan nada memelas.

"Ini udah buka mata..." Cano dan Lala melotot tidak percaya , sedangkan Bibi yang kebetulan ada disana langsung tersenyum sumringah. Disana, gadis yang dua minggu terbaring tak berdaya sudah bisa berbicara walau suaranya terdengar begitu serak.

Lala dengan keadaan panik sekaligus senang memencet bel yang ada diatas kepala Fio , tak lama setelah itu dokter Dava dan dua susternya masuk. Mereka bertiga disuruj menunggu diluar , didepan pintu Lala berharap-harap cemas. Semoga itu pertanda baik.

"Ish! Tuh dokter tengil ngapain lama banget si?," kesal Lala karena sudah menunggu lama.

"Lo sensian banget ketemu sama dia... jangan-jangan ada---"

"Ada apa ha?, " sergah Lala cepat. Matanya melotot garang , Cano malah tertawa membuat wajah Lala merah padam. Tangannya terulur untuk menimpuk kepala Cano dan menjambak rambut laki-laki itu.

"Ihh! Resek banget sih jadi cowo!," gemas Lala sambil terus menjambak rambut Cano dan mengomel.

"Woi narik nya jangan kenceng-kenceng , rambut gue rontok Lala!," teriak nya.

"Bodoamat! Dasar resek!," serunya tak kalah kencang. Mereka tidak peduli tatapan aneh para pengunjung lain. Sedangkan Bibi yang juga ada disana hanya bisa tersenyum , akhirnya mereka bisa tertawa lepas lagi. Selama menjaga Fio hanya wajah cemas dan sedih yang tergambar disana.

"Ekhem....!," Lala dan Cano serempak kembali diam dan menatap kearah Dava dengan wajah yang tidak bisa terbaca. Lala yang tampak panik segera memperbaiki rambutnya yang berantakan dan berseru dalam hati  Stay calm La... Stay calm...

Dava mendelik kearah Cano yang menampakkan wajah sok cool nya , "Jadi, sesuai pemeriksaan kami Fio sudah lepas dari traumanya , sarafnya juga sudah membaik. Dan kondisi Fio hanya butuh beberapa waktu untuk merenggangkan ototnya setelah terbaring disini dua minggu," Lala dan Cano sama-sama bernafas lega , mereka kira Fio hanya mengalami gerakan refleks.

"Saya harap kalian mengerti keadaan pasien , dan  menjaga ketenangan selama pasien istirahat, " tanpa persetujuan Dava , Cano langsung masuk membuat dokter itu mendengus sebal.

Anak itu... selalu saja sama... batin Dava. Bibi yang mendengar kabar baik iyu segera pamit pulang karena ingin membuat masakan yang spesial untuk Fio. Sedangkan Lala yang ditinggal bersama dokter Dava menatap was-was  , firasatnya mengatakan akan ada sesuatu yang buruk akan terjadi.

Suster yang ikut dengan Dava tadi segera melenggang pergi , "Ikut saya...."

Lala mendesah pelan dalam hati , dia hanya mengangguk dan pasrah saat Dava mengamit tangannya dan melangkah kearah taman belakang. Tapi terselip rasa berdebar dalam hatinya , apalagi saat Dava memegang tangannya. Ah dia merindukan masa-masa itu.

Sesampainya mereka ditaman belakang , Dava menyuruh Lala duduk disamping nya. Mereka menatap awan yang lumayan cerah siang ini, keduanya sama-sama terdiam. Perlahan Dava mengikis jarak dirinya dan Lala, hingga benar-benar tak tersisa.

"Apa kabar?, " tanya Dava setelah lama terdiam.

"Seperti yang kamu liat..., " Lala tersenyum manis kearah Dava. Dokter tampan itu tercenung , sudah lama sekali dia tidak melihat senyuman manis itu. Dia ikut tersenyum dan mengambil tangan Lala lalu menyatukan tangan mereka berdua.

Sial! Jantung tenang dong... batin Lala memegangi dada sebelah kirinya. Ia nemalingkan wajahnya yang terasa panas , membuat Dava mengernyit heran. "Kenapa?," Dava menarik wajah Lala hingga mereka berdua bertatapan.

Jantung Lala kembali berdetak kencang , bibirnya bergetar , ah! Dava selalu membuatnya tidak bisa berkutik. "Kok diam?, " Dava tambah terheran melihat Lala yang menatap nya dengan  pandangan berbeda.

Lala yang tak kuasa menahan dirinya segera memeluk Dava dan menyembunyikan wajah nya didada bidang dokter tampan itu , Dava awalnya terkejut. Tapi tidak bisa dipungkiri kalau dia sangat senang , Dava mengelus surai hitam panjang Lala sambil tersenyum lebar. Dia dapat merasakan detak jantung gadis itu yang berpacu dengan cepat.

"Kangen....," cicit Lala pelan. Dava terbahak , membuat Lala memukul dada Dava. Tingkah Lala yang malu-malu membuat Dava gemas , dia menarik dagu gadis itu agar menatap matanya.

"Aku juga kangen..., " ucap nya menatap Lala intens.

Perlahan wajah Dava mendekat , Lala memejamkan matanyaa saat sebuah benda kenyal itu menempel didahinya , kecupan itu cukup lama membuat seluruh tubuh Lala menghangat.

"Janji buat jangan nyerah?, " tanya Dava yang masih menatap Lala dengan jarak sedekat itu , tiba-tiba bibir Lala kelu. Jujur , dia sudah pasrah dengan takdirnya sejak lama , tapi kenapa begitu banyak orang yang ingin dia tetap bertahan?

Cairan bening itu meleleh dengan sendiri nya , Dava tersenyum sangat tulus sambil menghapus air mata yang membasahi pipi Lala. "Aku ada buat kamu , aku mohon ... jangan tinggalin aku sendiri..."

Lala menyembunyikan wajahnya didada Dava , ia tersedu-sedu. Sedih memikirkan nasib nya yang tidak seberuntung yang lain , pelukannya begitu erat , menyalurkan perasaan yang selama ini Lala tahan.

Dava mengusap kepala Lala lembut , "semangat sayang....." bisik nya pelan. Lalu mengecup pucuk kepala Lala agar gadis itu percaya padanya.

Percaya kalau dia akan selalu ada untuk nya....

               ***

Kalo ada typo komen ya ..

Gimana part ini?

REGRET ( E N D )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang