02. Mati Rasa

347 51 18
                                    

Regu elite bagian satu berjumlah enam orang yang diketuai oleh Agent Van kembali kemarkas besar yang tersembunyi disebuah pulau kecil tak berpenghuni. Mereka disambut dengan hangat berhasil menyelesaikan misi penyelamatan sandera yang akan menjadi korban perdagangan manusia.

"Agent Van!"

Gadis itu menoleh mendapati seorang pria yang sudah berumur menghampirinya.

"Apa kau terluka?" tanya Rudeus memastikan.

Agent Van melepas rompi anti pelurunya kemudian menyerahkannya pada Rudeus. "Aku lelah," hanya kalimat itu yang ia ucapkan sebelum pergi meninggalkan ramainya sorak-sorak tepuk tangan.

Max mengambil alih rompi milik Agent Van. "Dia kembali bertindak sendiri, memeriksa keadaan gedung sebelum kami menyerang untuk memastikan koordinat denah yang kau berikan tak salah," tutur Max membuat Rudeus terdiam.

"Ya, aku menghabisi mereka." Jean melempar senyuman pada semua orang.

"Benar! Itu aku!" ucap Jean membuat Mikaila langsung pergi menuju kamarnya.

"Ayo," ajak Lucky pada Brian agar secepatnya pergi dari kerumunan para petinggi akademik.

"Agent Van sempat tertembak, tapi seperti biasa, dia bisa mengeluarkan peluru dengan sendirinya." Max kembali bersuara sampai tangan Rudeus berada dibahunya.

"Selalu lindungi dia, anakku." Rudeus pergi meninggalkan Max yang tersenyum menatap punggung ayahnya.

Agent Van tiba dikamarnya, perlahan ia melepas perban yang membalut perutnya. Ia mengambil kotak yang berisikan alat medis. Agent Van duduk dikasurnya yang sangat keras, kemudian tusukan jarum mulai menyatukan kulit perutnya yang sedikit sobek akibat timah panas.

Gadis itu tak menampilkan ekspresi apapun, tatapannya terlihat kosong dan saat jahitannya sudah sempurna. Ia melepas pakaian kotornya, terdapat banyak bekas luka dibeberapa tititik terutama perut.

"Bertarunglah..." ucap Agent Van lalu merebahkan tubuhnya, memeluk dirinya sendiri dalam kabut hitam yang mengelilingi kepalanya.

Kreak...

Pintu kamarnya terbuka, Brian datang membawa beberapa gelas minuman soda.

"Ini! Untuk membayar jasamu," ucap Brian malas lalu duduk dikursi dimana dimeja terdapat komputer yang dirakit khusus untuk menerima misi, bukan untuk melakukan kontak dengan orang-orang diluar pulau.

"Hei, apa kau sudah tidur?" panggil Brian tak kunjung mendapat jawaban.

"Aku sendiri yang akan menghabisi Tuan Kuno itu, menembak kepalanya, mencungkil mata dan memotong lidahnya. Jika ia mempunyai rambut, maka rambutnya akan ku jadikan sapu pembersih lantai."

Brian meneguk salivanya mendengar kalimat yang dilontarkan Agent Van.

"Hei, kau mengigau?!" tanya Brian mendekat. Matanya menatap kotak medis yang berserakan.

"Lihat saja nanti," gumam Agent Van sebelum larut dalam tidurnya.

"Aneh sekali gadis gila ini," ucap Brian membereskan pelaratan medis yang baru saja digunakan Agent Van untuk mengobati lukanya sendirian.

"Sejak pertama kali kau datang bersama Rudeus, ku kira kau adalah korban kriminal. Kau begitu lugu dan polos, tetapi sekarang kau sudah tumbuh menjadi gadis gila." Brian tersenyum, ia sudah menganggap Agent Van sebagai adiknya sendiri meskipun usia mereka terpaut 13 tahun.

"Beristirahat lah, bahaya menunggu esok." Tangan Brian bergerak menyelimuti tubuh Agent Van dengan kain tipis yang memang tersedia disetiap kamar.

Mentari kembali menampakkan sinarnya. Para petinggi dan pengawas akademik berdiri dibalik kaca tebal menatap lapangan dimana terdapat seorang gadis yang dengan lincahnya menembak tepat sasaran pada papan dart besar yang bergambar tubuh manusia.

Te Amo 3 ( Selena Aneska )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang