15. Rasa Sakit

215 43 52
                                    

Agent Van membuka matanya, ia memandangi semua orang yang juga tengah memandangnya.

"Dimana aku..." gumam Agent Van.

"Apa yang terjadi?" tanya gadis itu lagi.

Agent Van mengubah posisinya menjadi duduk dan saat itu juga Jean langsung memeluknya.

"Apa kau terluka!?"

"Pria itu menyakitimu 'kan!?"

Gadis itu sampai terbatuk, Jean langsung melepas pelukannya dengan ekspresi dingin pada semua orang yang tengah mengalihkan pandangannya dari mereka.

"Pria itu?" tanya Agent Van. Jean mengangguk.

"Tidak," ucap Agent Van hingga membuat semua orang yang berada dikamarnya menampilkan ekspresi bingung.

"Hei, kau disekap olehnya! Apa dia benar-benar tidak menyakitimu!? Apa yang terjadi padamu selama berada dirumah itu?" tanya Lucky tak sabaran.

Agent Van diam sejenak kemudian memegang kepalanya.

"Aku lupa..." ucap gadis itu.

"Lalu---"

"Berhenti menanyainya!" ucap Max pada Lucky. "Agent Van butuh istirahat, mari kita tinggalkan dia. Aku bersukur kau sudah sadar dan dapat kembali ke akademik," tutur Max menyentuh bahu Agent Van.

"Mari keluar," ajak Max pada teman-temannya.

Jean masih duduk ditepi kasur sepeninggal yang lain. Ia menatap gadis disampingnya yang nampak menampilkan tatapan lugu seperti waktu pertama kali ia temukan disalah satu kamar rumah itu.

Hingga tiba-tiba naluri gadis itu bangkit, mengambil pistol dan menembaki semua orang bahkan menembak pria yang Jean yakini sebagai Mr. Ale.

"Apa dia menyakitimu?" ulang Jean kembali bertanya.

Agent Van menyingkap bajunya memperlihatkan bekas luka yang cukup banyak pada Jean.

"Kalian yang telah menyakitiku."

Jean terdiam mendengar ucapan Agent Van. Tangannya terangkat menyentuh bekas luka dikening gadis itu.

"Apa kau lapar?" tanya Jean, Agent Van menggelengkan kepala.

"Tenangkan dirimu, jika butuh sesuatu panggil saja aku." Jean bangkit hendak pergi namun Agent Van menahan tangannya.

"Mengapa kalian menyakitiku?" tanya Agent Van pelan.

"Pria itu pasti telah mencuci otakmu!" tegas Jean menepis tangan Agent Van.

Gadis itu menggeleng. "Dia memberiku makanan dan pakaian, dia tak menyakitiku, dia tak memerintahku, dia tak menuntutku akan suatu hal."

Jean menggeleng kemudian kembali duduk disamping Agent Van.

"Pria itu orang yang salah jahat, dia membunuh Brian, membunuh Mikaila---"

"Itu karena dia juga merasakan apa yang aku rasakan," potong Agent Van menatap Jean.

"Apa yang kau rasakan?" tanya Jean singkat.

Agent Van menjawab. "Aku kehilangan," ucapnya pelan.

Jean mengangkat tangan mengusap air mata gadis itu.

"Apa yang hilang?" tanya Jean lagi.

"Diriku," jawab Agent Van singkat sebelum Jean kembali mendekapnya dengan lembut.

"Aku kehilangan diriku sendiri, rasanya begitu sakit, kepalaku menolak sesuatu yang hendak masuk kedalamnya, mereka bertabrakan dan hal itu membuatku kesakitan..." tutur Agent Van dengan nada kepiluan hingga membuat Jean bungkam
tak dapat berkata lagi.

"Apa kau mempunyai rumah?" tanya Agent Van, Jean mengangguk.

"Seperti apa rumahmu?" tanya Agent Van lagi namun Jean tak menjawab.

"Seperti apa!?"

"Apakah seperti rumah pria itu!?"

"Jawab aku, Jean!!"

"Aku tak dapat menceritakannya," ucap Jean pelan.

Agent Van melepas pelukannya menatap Jean dalam diam meski sesekali isakan terdengar dari dirinya.

"Aku semakin yakin, kalau ingatan gadis gila ini sudah dihapus oleh, Tuan Rudeus!!"

Jean tersadar dengan bercak kebiruan dileher gadis itu, tangannya terangkat menyingkap rambut Agent Van. Ekspresinya kembali berubah menjadi dingin dan menyebalkan.

"Apa kau tidur dengannya!?"

Spontan pertanyaan itu keluar dari mulut Jean, membuat Agent Van menampilkan tatapan konyol dengan wajah memerah.

"Hei, gadis gila. Aku bertanya," ulang Jean memalingkan wajahnya.

"Pria itu melihat bekas luka pada perutmu, dia pasti mengatakan kalau akademik yang telah menyakitimu, tetapi sebenarnya bukan 'kah segala masalah datang darinya? Mr. Ale, si tampan ber jas." Jean kembali bersuara hingga membuat Agent Van kebingungan.

"Jadi bukan hanya aku yang menganggap kalau dia itu tampan?!" tanya Agent Van mendekatkan wajahnya dengan tatapan berbinar.

Jean berdecak malas. "Menjauh dariku!!" ucap pemuda itu.

"Baru bertemu sudah dapat mengajaknya tidur," gumam Jean pelan masih menampilkan tatapan dinginnya.

"Ada apa?" tanya Agent Van membuat Jean langsung bangkit dari duduknya.

"Sudahlah, kau beristirahat saja. Akan ku suruh Max membuatkan makanan untukmu!" ucap Jean ketus.

"Kau tidak keberatan melakukan itu?" tanya Agent Van saat Jean hendak keluar dari kamarnya.

"Yang lebih dari itu pun akan ku lakukan," jawab Jean dengan nada malasnya.

"Seperti?" tanya Agent Van lagi.

"Ck! Kau ini." Jean kembali menggerutu kemudian benar-benar pergi meninggalkan kamar Agent Van.

"Aneh sekali," gumam Agent Van memilih kembali merebahkan tubuhnya.

Disebuah ruangan, Ale terbangun. Perban melilit perutnya yang bertelanjang dada itu. Pria itu hanya diam mendengarkan detik demi detik ketukan jam dinding.

"Buat kekacauan."

Artha, pria itu mengangguk.

"Siap, Tuan." Artha pergi meninggalkan kamar sang tuan dimana pakaian yang ia belikan untuk seorang gadis masih berada didalam kantung plastik.

Kini tinggal Ale sendiri, masih memandang kosong kearah langit-langit kamar, membiarkan angin menerpa tubuhnya akibat jendela yang yang terbuka. Hatinya hancur dan raganya lelah. Ia butuh waktu memulihkan tenaganya akibat timah panas yang menusuk perutnya.

Ale bangkit menatap kearah sisa makanan yang berserakan di lantai. Ia mengusap kasurnya, beberapa jam lalu seorang gadis masih berada disini, menemani setiap malamnya, alasan ia tersenyum dan tertawa.

"Sampai jumpa di pertemuan selanjutnya," ucap Ale mengepalkan tangannya.












TBC
Gas!!  Ayo komen sebanyak-banyaknya!!!

Te Amo 3 ( Selena Aneska )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang