43. Penyelamatan

155 32 7
                                    

Alma pergi meninggalkan kantor pusat menuju sebuah tempat yang dijaga oleh beberapa rekan sebayanya. Tiada lain dan tiada bukan adalah tempat dimana Jean dikurung.

Gadis itu masuk melewati pagar pembatas menggunakan tanda pengenalnya. Ia bergegas menuruni tangga menuju ruangan bawah tanah tempat Jean sekarang berada.

Ting!

Detingan genggaman Alma pada tiang besi membuat seorang pemuda yang tengah terduduk lesu dengan kedua tangan dirantai menatapnya.

"Sampah ini datang lagi," ucap Jean nanar.

"Alevan! Pria itu menyerahkan diri!" ucap Alma membuka kunci jeruji besi itu. Hingga ia masuk dan Jean nampak berusaha menyerang namun tak kuasa sebab keterbatasan geraknya.

"Enyahlah kau!" bentak Jean menendang kaki Alma hingga gadis itu terduduk dilantai dengan kepala membentur jeruji besi.

"JEAN!" Alma berteriak mengusap wajahnya.

"Semua ini tidak akan terjadi jika kau tidak bergabung dengan kelompok mereka!" tutur Alma menjelaskan.

"Semua ini tidak akan terjadi jika kau tidak bertindak sebagai musuhku!" balas Jean tak mau kalah.

Alma tertawa. "Tunggu saja! Eksekusi pria itu akan berlangsung sebentar lagi," ucap Alma hingga membuat Jean semakin marah.

Tiba-tiba sebuah benda bergetar dari saku kemeja Alma. Gadis itu mengambilnya, sebuah benda kecil dengan cahaya merah yang berkedip.

Dor!

Dor!

Dua tembakan berhasil memutus rantai yang mengikat dua tangan Jean. Alma terkejut, memalingkan badan dan mendapati beberapa orang mendatanginya. Ia mengambil pistol namun kembali terlempar oleh peluru dari, Selena.

"Sudah cukup!" ucap Max tak sabaran menodongkan senjata pada Alma yang nampak dibuat bingung.

"Tunggu!!!" teriak Alma saat Max hendak masuk ke sel.

"Ini bercanda! Darimana kalian tahu---"

Max mengambil benda kecil yang tadi didapatkan oleh Alma. Pria itu melemparnya dan dalam hitungan detik, ledakan kecil terjadi hingga membuat tembok retak.

"Kau bodoh dan dibodohi," ucap Selena tersenyum sinis.

Alma panik, nafasnya memburu dengan dua tangan terkepal. Sejak kapan benda itu berada pada dirinya, apakah saat ia mengobati luka Alevan beberapa waktu lalu.

Sial, pikir Alma membatin.

Max berhasil masuk kedalam sel dan membawa Jean yang lemah keluar dari jeruji besi tersebut. Roman tak berbuat banyak, hanya membantu Max membawa Jean. Kini Selena berhadapan dengan Alma.

"Baik lah, apa aku boleh membalas tembakanmu tempo lalu?" tanya Selena membuat Max, Roman dan Jean membeku ditempat.

"Kau! Kau!! Kau... tak waras!! Gadis gila!!!" teriak Alma menarik tubuh Selena agar membentur jeruji besi.

Namun Selena tetaplah Selena, gadis itu tertawa kemudian menjatuhkan pistolnya.

"Aku tidak selicik dirimu!" ucap Selena hingga membuat Alma semakin marah.

Alma kembali bertindak dengan membawa masuk Selena kedalam sel. Tangannya bergerak meraih pistol lalu menodongkannya pada Selena yang tersenyum santai.

"Oii..." tegur Roman sedikit mengkhawatirkan kejadian tersebut.

"Kau ragu?" tanya Selena merentangkan dua tangan. "Menyenangkan rasanya dapat mempermainkan dirimu," ucap Selena melangkah mendekat.

"Lihat saja! Alevan akan mati!! Dia akan mati----"

Bugh!

Selena menendang perut Alma hingga gadis itu tersungkur.

Dor!

Satu tembakan melayang entah kemana. Alma memegangi perutnya yang baru saja mendapat hantaman dari Selena.

"Tak sopan mengatakan hal itu dihadapanku," ucap Selena dengan wajah begis tanpa seulas senyum seperti sebelumnya.

Alma mengangkat pistolnya, mengarahkannya pada Selena.

Dor!

"Terlalu lama, lihat keadaanku!"

Jean angkat suara setelah menembak Alma menggunakan pistol milik Max. Selena terkejut dan nampak kesal atas ulah Jean tersebut.

Alma sudah terkapar dengan darah yang mulai membasahi lantai. Gadis itu meneteskan air mata menatap Jean dari kejauhan. Sedangkan Selena bergerak mengunci sel tersebut dengan lambaian kecil pada Alma yang mulai memejamkan mata.

"Jean... aku mencintaimu...."

Alma menutup mata, dengan rasa bersalah luar biasa pada dirinya. Benalu, memang seharusnya begitu.

"Awwss!!" Jean meringis saat Selena menyentuh luka diwajahnya saat mereka berjalan meninggalkan tempat tersebut. Beberapa penjaga nampak tak sadarkan diri akibat ulah Roman yang menyuntikkan bius pada mereka.

Akhirnya mereka pergi dan kembali kerumah seorang Artha untuk menyiapkan rencana selanjutnya.

Kembali lagi pada Alevan, pria itu sudah dimasukkan kedalam ruangan khusus yang tidak memungkinkan dirinya untuk melarikan diri.

Diruangan lain, Rudeus tengah berhadapan dengan beberapa petinggi termasuk Benzo dan juga seorang utusan Hakim Pengadilan.

"Sebaiknya penyerahan diri pria itu tidak perlu diumbar dimedia," ucap Cokky, utusan sang Hakim.

"Aku setuju," balas Benzo.

"Ah, padahal aku ingin mengabadikan eksekusinya secara siaran langsung," tegas Rudeus melipat tangannya didada.

Benzo tertawa. "Kau sangat membenci dirinya," ucap pria itu kemudian menuangkan minuman kedalam gelas.

"Karenanya, organisasi yang sudah lama ku bangun berantakan." Keluh Rudeus jujur.

"Hei, kan itu salahmu," balas Benzo hingga Rudeus terdiam.

Benar. Salahnya!

Siapa suruh membawa Selena pergi hingga menimbulkan kekacauan seperti sekarang ini.

"Hakim memintaku untuk pergi," ucap Cokky menatap layar ponselnya.

"Pengadilan akan dilakukan secara tertutup, hanya didampingi beberapa petinggi yang mungkin sudah dirugikan oleh keberadaan pria itu. Secara harfiah, seorang sepertinya memang harus mendapat hukuman mati. Tetapi hukum tetaplah hukum, dia harus mencari pengacara untuk meringankan hukuman dirinya."

Cokky menjelaskan hingga membuat Benzo dan Rudeus mengangguk bersamaan.

"Pengacara untuk Alevan, ya?" kekeh Benzo.

"Sial! Dia harus mati!" gusar Rudeus kemudian pergi menyusul kepergian Cokky.

Alevan sendirian, duduk diranjang yang sangat keras. Pria itu merapikan tatanan rambutnya kemudian pakaian tahanan yang dikenakannya.

Ruangan hampa, pikir Alevan memilih merebahkan tubuhnya.

"Ayah, apa kau senang sekarang?" gumam Alevan menatap langit-langit ruangan penjaranya.

"Ah.. sudah pasti." Alevan tersenyum hingga pintu ruangannya terbuka.

Benzo datang sendiri membawakan makanan untuk Alevan.

"Sidang akan dibuka besok, apa kau menginginkan seorang pengacara?" tanya Benzo.

Alevan tersenyum tipis kemudian menggeleng.

"Aku tak butuh pembelaan," ucap Alevan.

"Pada akhirnya, kau juga akan mendapat hukuman mati," balas Benzo kemudian pergi setelah menaruh nampan makanan.

"Belum saatnya," ucap Alevan memilih kembali merebahkan dirinya menunggu rencana selanjutnya.








TBC

Te Amo 3 ( Selena Aneska )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang