33. Berat Hati

151 27 3
                                    

"Huhh!! Dugaanmu salah!" rutuk Jean sembari menyerahkan satu minuman soda pada Max.

"Aku 'kan hanya memantau dari kejauhan,
mana sempat aku berpikir kalau yang ku lihat selama ini adalah lelaki tua!" balas Max tak mau kalah. Mereka kemudian tertawa dan kembali terdiam menatap jalanan didepan mata.

"Lalu, bagaimana?" tanya Jean.

"Mau bagaimana lagi, kita harus menemukan gadis gila itu, bagaimana pun caranya! Karena dia adalah rekan kita, teman kita!" tegas Max mengangkat minuman sodanya.

"Aku tak yakin kalau dia masih menganggap kita sebagai teman," kekeh Jean hingga membuat senyuman Max luntur.

"Benar juga," balas Max dingin.

"Eh..." Jean bangkit dari duduknya saat mendapati seorang gadis yang tiada lain adalah Alma nampak berjalan mendekati mereka.

"Mengapa tidak pulang?" tanya Alma setelah semalaman suntuk berjaga berharap Jean pulang kekamarnya.

"Aku... ada pekerjaan," jawab Jean memanglingkan wajahnya. Max hanya diam acuh pada mereka.

"Kau marah padaku?" tanya Alma pelan.

Jean menggeleng. "Untuk apa aku marah? Lebih baik kau pulang dan beristirahat, aku sedang sibuk, bersama Max." Jean menunjuk Max hingga membuat pria itu melempar senyuman pada Alma.

"Pulang lah malam ini, ku mohon," ucap Alma lagi kemudian pergi setelah menyentuh rahang Jean dengan jemarinya.

"Ya, kelihatannya dia menyukaimu," goda Max pada Jean.

"Lupakan saja, kita berfokus pada masalah Agent Van!" tukas Jean mengalihkan pembicaraan.

"Benar juga, kau 'kan menyukai Agent Van. Hehehe..." Max terkekeh geli kemudian sebuah pukulan kecil mendarat dipunggungnya.

Sementara itu, Agent Van tengah memegang sebuah pistol yang ia dapatkan dari Ale. Gadis itu tersenyum memandangi pistol hingga saat Ale datang, ia langsung meletakkan pistol tersebut kemudian menghampiri Ale yang tengah membawa makanan.

"Ada apa?" tanya Ale pada gadisnya.

"Tidak, aku hanya tak ingin melupakan cara memegang pistol," kekeh Agent Van membuat Ale tersenyum lalu mengusap kepala gadis itu.

"Artha mengatakan padaku bahwa aku takut akan kematian, tetapi yang aku takutkan sebenarnya adalah kehilangan dirimu..." Ale berhasil membuat Agent Van terdiam dengan mata berkaca-kaca.

"Tak mudah menjadi dirimu," balas Agent Van mengalihkan pandangannya hingga kemudian Ale merebahkan kepalanya kepangkuan gadis itu itu dan dengan leluasa memandangi wajah cantiknya.

"Aku tak ingin kita berakhir seperti mereka," ucap Ale menggenggam tangan Agent Van.

"Seperti?" tanya Agent Van bingung.

"Sial, aku sangat membenci Rudeus..." gumam Ale memejamkan matanya.

"Aku tidak membencinya, berkatnya aku bertemu denganmu," ucap Agent Van yang memang tidak tahu menahu tentang siapa dirinya yang sebenarnya.

Entah apa yang terjadi jika gadis itu mengingat semua masalalunya termasuk bersama Ale dulu.

"Tetapi kita terpisah karena dirinya." Ale berucap kemudian membuka matanya.

"Pasti terasa menyakitkan," gumam Ale lalu bangkit kemudian memeluk gadisnya.

"Tetaplah berada disisiku, Selena..." pinta Ale penuh pengharapan.

"Ale... Van..." ucap Selena.

"Jangan mengatakan nama itu lagi," ucap Ale enggan melepas pelukannya.

Te Amo 3 ( Selena Aneska )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang