25. Ruang

158 39 12
                                    

"Aku membawa makanan! Mari makan!?"

Gadis manis yang tengah menonton kartun itu menoleh pada pemuda yang baru memasuki ruangannya. Ia tersenyum lebar kemudian mengangguk dan mempersilahkan pemuda itu duduk disampingnya.

"Pizza?" tanya Agent Van berbinar.

Roman mengangguk. "Kau sangat suka, bukan?" kekeh Roman.

Agent Van langsung melahap potongan pizza tersebut. Roman tersenyum senang, ia tak masalah jika gadis itu berada di apartemennya untuk selamanya sekalipun. Meskipun terkadang mereka tak bicara, hanya melempar senyuman dan makan bersama. Setidaknya Roman tak kehilangan temannya.

"Selena, apa kau---"

"Stt... jangan menyebut nama itu, kepalaku kembali sakit," potong Agent Van. Roman mengangguk saja ikut menyantap pizza bersama gadis itu.

"Apa uangmu tak habis?" tanya Agent Van sontak membuat Roman tertawa.

"Tentu saja tidak!" jawab Roman santai.

"Sebab kau selalu membeli makanan dan pakaian untukku, juga perlengkapan lainnya. Kau sangat baik!" puji Agent Van bangga.

Roman tersenyum pada gadis itu. "Karena kau adalah temanku, aku tak mempermasalahkan hal itu, aku senang jika kau senang," tutur Roman lembut.

"Sayang sekali, aku belum bertemu dengan Kak Van," sambung Roman mengalihkan pandangannya. "Dia pasti mencarimu," ucap pemuda itu lagi.

Agent Van menghentikan makannya dengan tatapan polos. "Van? Hei, itu namaku!!" ucap Agent Van.

"Ck, tidak. Namamu Selena, Se- Le- Na!" eja Roman membalas.

"Ups! Aku kembali mengucapkan nama itu!" Roman menutup mulutnya.

"Aku, lupa..." Agent Van diam memandangi televisi yang menyala. Ia kembali kalut dalam pikirannya, sudah dua minggu ia berada bersama pemuda bernama Roman, yang ia sendiri tak tahu apa alasan pemuda itu sangat baik padanya.

"Aku tak mengingat apapun," ucap Agent Van membuat Roman bungkam.

"Jangan dipaksakan, kau akan kembali mengingatnya, aku yakin." Kekeh Roman berjalan menuju kulkas kemudian mengambil dua minuman dingin.

"Jika tidak?" tanya Agent Van pelan.

"Pasti kau akan mengingatnya!" kesal Roman melempar botol minum pada gadis itu yang langsung ditangkap dengan sigap.

"Bagaimana keadaan akademik sekarang?" gumam Agent Van.

"Hei, ada apa?" tanya Roman kembali duduk disamping gadis itu.

Agent Van menggeleng kemudian kembali mengarahkan pandangannya pada televisi yang menampilkan serial kartun malam hari.

•••

Jean duduk sendiri di atap, sejak dua minggu terakhir akademik tidak mendapat misi apapun, semuanya lenyap termasuk kabar keberadaan Agent Van, orang-orang seperti melupakan gadis itu, mereka menganggap Agent Van telah berkhianat dan siap menghabisi gadis itu jika mendapat perintah dari atasan.

"Aku kesepian," ucap Jean merebahkan tubuhnya memandagi langit malam.

"Sedang apa dia sekarang?" tanyanya pada diri sendiri.

"Max ditugasnya ditempat lain, Lucky berteman dengan Petrick." Jean gusar bukan kepalang.

"Aku harus bagaimana?" tanya Jean lagi. Ia bangkit menatap tembok yang tinggi menjulang mengurung mereka dari dunia luar.

"Apa aku harus..."

•••

Pagi harinya, Ale terbangun mendengar ketukan pintu. Ketukan tersebut berasal dari Artha yang nampak tak sabaran.

"Ada apa?" tanya Ale dingin.

"Selena! Dia bersama lelaki di apartemen!" ucap Artha cepat.

Ale menyerngit. "Lelaki?" tanya Ale mengambil pistol dari laci.

"Ya! Roman!" jawab Artha.

Aktivitas Ale terhenti. Umpatan terdengar jelas dari mulutnya.

"Tenang lah, yang terpenting gadismu sudah aman," ucap Artha menenangkan.

"Hei, berita tentang buronnya Mr. Ale sudah tersebar luas, dan kau tahu apa? Ada seribu situs lebih yang menyebutkan kalau diri mereka adalah Mr. Ale yang dicari oleh kepolisian," ucap Artha diakhiri tawa kecil.

"Mereka hanya tahu nama, bukan wajah," ucap Ale menaruh kembali pistolnya.

"Siapkan mobil, aku ingin menjemput gadisku." Ale melangkah masuk kekamar mandi, meninggalkan Artha yang masih berdiri diambang pintu kamarnya.

"Yayaya.... Tuan Kuno!" ledek Artha menutup pintu kamar.

"HEI!! AKU MENDENGARNYA!" teriak Ale dari dalam kamar mandi hingga membuat Artha tertawa kemudian pergi.

Tak butuh waktu lama, Ale berdiri didepan gedung apartemen. Langkahnya meragu, seolah teringat kejadian lama. Pria itu melewati beberapa petugas apartemen yang nampak menghormatinya sebab saat ini Ale nampak seperti orang ternama dengan setelan jas hitam dan ketampanan luar biasanya.

Di belakang Ale terdapat pria berambut seputih salju, mereka memasuki lift bersama-sama masih dengan Ale yang berdiri didepan Artha. Mereka keluar dari lift, berjalan menyusuri lorong apartemen hingga tiba didepan sebuah pintu bernomer 113.

"Tuan?" panggil Artha pada sang tuan yang masih diam didepan pintu.

"Apakah akses kamar lama masih ada?" tanya Ale menoleh pada Artha dan saat itu Artha tersenyum menatap wajah Ale yang sangat mirip dengan tuan lamanya.

Artha mengangguk.

"Aku ingin berkunjung," ucap Ale mengurungkan sejenak niatnya yang hendak menjemput sang gadis.

Artha kembali mengangguk kemudian memimpin jalan sang tuan kembali masuk kedalam lift hingga mereka tiba disebuah lorong yang tak ada seorang pun disana.

Artha menghentikan langkahnya didepan sebuah pintu yang terkunci. Ia menatap sang tuan sejenak.

"Sandinya adalah tanggal lahir, sang Ratu."

Ale memencet tombol demi tombol hingga pintu itu terbuka. Udara dingin menyeruak menembus kulit wajah Ale yang sudah melangkah masuk, lain halnya dengan Artha yang masih berdiri diambang pintu.

Ale duduk di sofa, memandangi ruangan itu. Artha hanya memperhatikan dari belakang, kejadian ini seperti kejadian puluhan tahun lalu. Artha tersenyum menahan air matanya, membayangkan kalau yang duduk sekarang adalah tuannya yang paling ia hormati dan patuhi.

"Artha," panggil Ale tanpa menatap pria itu.

"Ya, Tuan?" tanya Artha.

"Selena, akan menjadi milikku 'kan?" Ale balas bertanya membuat Artha bungkam.

"Ya," jawab Artha.

"Jika tidak, akhiri saja semuanya." Ale bangkit kemudian pergi meninggalkan Artha yang dimana setetes air bening jatuh membasahi pipinya.

"Lagi?" tanya Artha menatap seisi kamar.

"Tuanku, berapa banyak dosa yang akan ku tanggung?" tanya Artha lagi.

Artha berlulut menundukkan wajahnya dan setelah itu seperti ada bayangan kaki seseorang dihadapannya. Bayangan itu berdiri, menyentuh kepalanya hingga saat Artha mengangkat kepala dengan berderai air mata.

Senyuman seseorang terlihat, senyuman yang sangat Artha ingat. Artha mengenangnya, menyerahkan seluruh hidupnya untuk mengabdi pada sang tuan meski ia tahu resikonya.

"Selesaikan, semuanya."

Artha mengangguk menundukkan kepala.

"Siap, Tuan."

Bayangan itu hilang dalam sekejap.












TBC
Kangen😭

Te Amo 3 ( Selena Aneska )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang