Ale berhasil menyusup bersama pasukannya dari semua kalangan. Ia tak main-main mengatakan ingin mendapatkan wanita yang sudah menjatuhkan harga dirinya. Ale bersama pria berambut putih yang tiada lain adalah Artha.
Dalam hitungan mundur dari sepuluh, Ale berdiri memandangi tembok yang menjulang tinggi. Senyuman mengerikannya masih terlihat hingga membuat Artha geleng-geleng kepala dengan tingkah tuannya itu.
"Tiga... dua... satu..."
Dwar!!
Kembang api mengepung pulau tersebut, Ale tertawa keras saat pasukannya datang dengan helikopter dikegelepan malam. Ia akan mendapatkan wanita itu.
Sirine alarm tanda bahaya berbunyi keras tepat pada jam empat pagi. Suara gemuruh kedatangan helikopter membuat panik orang-orang yang berada didalam tembok.
Uluran tali terulur pada Ale dan Artha, keduanya langsung naik helikopter melewati tembok besar. Ale tertawa menatap orang-orang dibawah sana yang berlarian seperti semut.
Sebagian pasukan Ale sudah turun menyerang orang-orang akademik yang nampaknya belum melakukan persiapan sama sekali akan kedatangan musuh yang menyerang markas tersembunyi.
Max, pria itu memandang sekeliling dan yang ada dipandangannya hanya helikopter yang menjuntaikan tali ketanah.
"Agent Van, dimana dia?"
Lucky datang sembari memasang rompi anti peluru.
"Dia tidur," ucap Max kemudian menyusul teman-temannya yang sudah berhadapan dengan musuh yang berada didepan mata.
"Lalu Jean!? Hei! Si bodoh itu!? Dia dimana!?"
Lucky kembali masuk ke gedung mencari keberadaan Jean, namun pemuda itu tak berada dikamar. Semoga saja, Jean sudah bersiaga, pikir Lucky.
Dari atap, dua orang tengah terdiam menatap helikopter yang mengepung markas mereka. Jean membeku ditempat, sedangakan Agent Van nampak menggelengkan kepalanya.
"Jangan sampai mati---"
"Berhenti mengucapkan itu!" potong Jean mengikuti Agent Van yang hendak terjun membantu rekan-rekannya.
"Aku tak mau kehilangan lagi!!" teriak Agent Van tanpa menoleh pada Jean yang menyusul larinya.
"Mengapa!?" tanya Jean tak kalah keras dengan teriakannya.
Agent Van menghentikan larinya, hingga saat Jean berada disampingnya. Dengan spontan ia memeluk pemuda itu.
"Aku tak mau kehilangan lagi, rasanya begitu sakit."
Agent Van melepas pelukannya dengan cepat, ia kembali berlari namun suara Rudeus kembali menghentikan larinya.
"Agent Van! Cepat ikut denganku! Segera selamatkan dirimu!!"
Rudeus bersiaga membawakan rompi anti peluru dan juga perlengkapan bertarung Agent Van. Namun Agent Van menggeleng menatap Jean yang masih berdiri ditempat yang sama.
"Tidak!" ucap Agent Van.
"Bawa dia!" tunjuk Agent Van sembari mengambil pistol, ia menyerahkan rompi anti peluru pada Jean.
"Jangan sampai mati!" gadis itu kembali mengucapkan kalimat yang sama sebelum bergabung bersama rekan-rekannya yang sudah berada dilapangan meski tanpa persiapan rencana sama sekali.
Agent Van menembak tanpa rasa takut meskipun ia tak menggunakan pelindung apapun selain senjata pistol yang berada didua tangannya. Gadis itu tak menampilkan ekspresi apapun seperti biasanya.
"Bertarunglah..."
Hingga saat orang-orang bertopeng turun dari helikopter yang sama, Agent Van mendongakkan kepalanya menatap samar-samar pada seorang pria yang berdiri diambang pintu helikopter. Pria itu menatapnya dengan senyuman.
"Bajingan..."
Agent Van mengarahkan pistolnya pada Ale, namun meleset sebab pria itu ikut turun bersama teman-temannya. Ale menginjakkan kaki tepat dihadapan Agent Van dengan pistol yang sudah tertempel pada kepala Agent Van.
"Lindungi kami." Ale bersuara membuat perhatian anak buahnya tertuju padanya. Anak buah Ale benar-benar mengamankan posisi mereka berada sekarang sehingga tidak memungkinkan kalau ada orang akademik yang menyadari hal itu.
"Akhirnya kita bertemu," ucap Ale dengan seringainya.
"Bodoh! Jangan menghalangiku!!" balas Agent Van masih bisa menembaki para musuh meski dengan ruangan yang terbatas.
Ale mengambil sesuatu dari balik jasnya. Ia menarik tubuh Agent Van kemudian satu suntikan bius tepat tertusuk pada lengan gadis yang sudah menjatuhkan pistolnya.
Ale mendekap gadis itu dengan erat, matanya tertutup dengan tubuh yang sudah tak berdaya. Ia tersenyum mencium aroma rambut ikal gadis itu.
"Kita pulang!" ucap Ale pada Artha yang sedari tadi berada disisinya.
Agent Van dibawa naik ke helikopter dengan pelukan erat dari Ale. Beberapa orang menyadari hal itu termasuk Jean.
"Mereka membawa Agent Van!!" teriak Max dengan sangat keras saat musuh kembali naik helikopter dengan untaian tali yang membawa mereka semua.
"Selena!!" ucap Rudeus dengan tangan terkepal.
Kurang dari lima menit, markas akademik senyap tanpa suara tembakan. Beberapa dari mereka nampak terluka, beberapa musuh juga tertawan oleh pasukan akademik.
"Bagaimana ini!?" tanya Lucky pada Petrick.
"Mengapa mereka membawa Agent Van!? Apa yang para keparat itu inginkan!" balas Petrick juga kebingungan.
"Kita tak mungkin menyusul mereka, itu sama saja dengan misi bunuh diri!" ucap Max menahan Lucky yang hendak pergi menuju tempat transportasi mereka berada.
"Tapi Agent Van!?" tanya Lucky.
"Kita siapkan rencana menyelamatkannya nanti! Bantu yang lain, mereka butuh pertolongan secepatnya!" perintah Max lalu pergi meninggalkan Lucky dan Petrick.
Mentari mulai menampakkan sinarnya, para petinggi akademik masih terdiam menatap sisa pasukan. Mereka, Rudeus, Floyd, Harvey dan Grover.
Jean frustasi, duduk terdiam memegang kepalanya. Apa yang akan terjadi pada Agent Van, apa mereka akan membunuh gadis itu, atau menyiksanya, atau lebih parah dari itu.
"Hei!! Cepat beri kami rencana!!" teriak Lucky diikuti beberapa pejuang lainnya.
"Ada yang punya saran!?" Grover bersuara membuat semua pejuang terdiam.
"Kita harus menyelamatkan gadis gila itu!" Jean angkat bicara. "Atau aku akan melakukannya sendiri!!" Jean pergi meninggalkan ruangan tersebut.
Petrick langsung mengejar pemuda itu sementara Max memilih diam ditempat menatap ayahnya yang nampak sangat bersedih. Ia gagal menjalankan tugas menjaga Agent Van seperti yang diharapkan ayahnya.
"Seharusnya aku tidak mematikan sistem keamanan saat itu..." Rudeus berucap pelan pada tiga temannya.
"Kita tak pernah mengira ada penyerangan langsung kemarkas, jadi itu bukan salahmu!" tanggap Harvey atas ucapan Rudeus.
"Topeng mereka, seperti yang ada pada cerita Jean," ucap Floyd diangguki Grover.
"Mr. Ale, dalang dibalik penyerangan itu."
Semua orang yang berada diruangan terdiam, kalut dalam pikiran masing-masing. Mereka semakin yakin kalau Mr. Ale bukan orang sembarangan, dia mempunyai segalanya sampai dapat menyusup masuk kedalam markas.
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Te Amo 3 ( Selena Aneska )
AksiMereka menyebutnya, "Agent Van." Sebagian lagi menyebutnya, "Gadis Gila." Ya, gadis belia 17 tahun itu adalah Selena Aneska. Ia tumbuh menjadi gadis cantik, pandai dan cekatan. Ia sudah menangani banyak kasus kriminal yang dimana dalang dibalik semu...