1

4K 847 179
                                    

DONT FORGET TO LIKE AND COMMENT

HAPPY READING

*
*
*
*
*

Sepasang netra tajam itu terbuka dengan deru napas teratur. Mengedipkan matanya beberapa kali untuk mengumpulkan kesadarannya. Ia melirik jam yang ada di sampingnya.

Pukul 2 pagi. Ia menghembuskan napasnya lalu mencoba berdiri. Namun sakit di kepalanya tiba-tiba menyergap.

"Ash..." ringisnya.

Remaja bernama Park Jongseong itu memaksakan diri untuk bangkit dan duduk di meja belajarnya. Ia harus segera merevisi proposal sebelum fajar menyingsing.

Ia sudah terbiasa menjalani rutinitas itu. Pagi hingga sore dihabiskan untuk mencari ilmu di sekolah. Ketika matahari terbenam, ia akan membuka buku untuk mempelajari materi dan mengerjakan tugas yang setiap harinya pasti diberikan.

Dan dini hari, ia harus kembali membuka mata untuk menjalankan tugasnya sebagai seorang ketua organisasi yang seakan tak ada habisnya.

Jongseong tidak punya waktu untuk mengeluh.

Saat sedang fokus-fokusnya, suara gaduh dari luar terdengar. Jongseong berhenti mencatat, namun sama sekali tak ada niatan untuk memeriksa apa yang terjadi.

"Ni-ki kambuh lagi..."

Tes tes

Jongseong menggeram kesal ketika satu persatu darah menetes di atas kertas proposalnya. Ia mendongkan kepalanya dan meraih banyak tissue sambil berjalan ke arah kamar kandi yang ada di dalam kamarnya. Ia mimisan.

Tissue-tissue yang sudah berubah warna itu ia buang dengan kasar. Lalu membasuh wajahnya dengan air mengalir.

Kepalanya mendongak dan menatap pantulan dirinya sendiri di cermin lamat-lamat. Kemudian dia berdecih.

"Dasar lemah"

Ia mengusap wajahnya dengan handuk lalu berjalan kembali ke arah meja belajar. Ia menatap jengkel ke arah proposalnya yang dengan terpaksa harus ia print kembali.

Jongseong mendengus, ia memilih beranjak ke balkon. Duduk di kursi kayu dengan santai. Menghiraukan dingin yang menusuk sampai ke tulang. Netranya terpaku pada hamparan bintang yang terlihat indah di langit yang gelap.

"Apa kabar?"

Dan ini adalah rutinitas tambahan yang selalu dilakukan Jongseong ketika ada waktu. Menatap langit dan mulai berbicara sendiri.

"Di Amerika menyenangkan, ya?"

Matanya bergulir memandangi gelang berwarna hitam yang ada di tangan kirinya. Gelang milik separuh jiwanya yang secara paksa dipisahkan darinya bertahun-tahun yang lalu.

"Kita sudah 16 tahun. Berarti sudah 9 tahun kita tidak bertemu"

Setitik air mata menetes ke pipinya. Jongseong tak berniat menghapus atau menghentikan tangisnya. Karena dengan menangis, ia merasa tenang dan seakan masalahnya terangkat perlahan.

Hidupnya yang disanjung banyak orang justru menjadi beban untuknya. Selalu dituntut sempurna disegala hal. Ia akan dianggap cacat jika melakukan satu kesalahan apapun.

Belum lagi tekanan yang dia dapat karena adik tirinya yang sakit-sakitan. Jongseong menyayanginya, namun ketika ia justru dijadikan alat penunjang hidup anak itu, Jongseong membencinya.

Sudah beberapa kali ia menjalani pencangkokan hati untuk diberikan pada sang adik tiri yang mengidap leukimia. Itulah yang membuat daya tubuh jongseong lemah.

Namun itu tak bisa dijadikan alasan untuk Jongseong bisa mendapat sedikit keringanan untuk selalu mempertahankan kesempurnaan yang ia bangun di mata banyak orang.

"Minggu depan aku sudah mulai ada jam tambahan untuk olimpiade fisika. Kali ini aku berjanji, trophy itu akan aku dapatkan. Bukan cambukan atau pukulan. Aku akan memenangkannya, Jay."

Jongseong meraih sesuatu di bawah pot tanaman hias yang berada di dekatnya. Sebuah cutter.

Jongseong mengamati cutter itu lamat-lamat. Bagaimana berkilauannya benda itu. Runcing, tajam, dan indah.

Tangannya beralih menggoreskan cutter itu ke pergelangan tangannya. Jongseong begitu menikmati saat-saat ini.

Darah yang keluar ibaratkan semua masalahnya yang perlahan mulai melepaskan diri darinya.

"Ini tubuhku. Milikku. Hanya aku yang boleh membuatnya terluka. Bukan orang lain. Termasuk mama dan suaminya"

~~Nakula Sadewa~~

Botol-botol bening itu berserakan. Bau khas alkohol menguar ke seluruh ruangan bernuansa abu-abu itu.

Di sofa, terdapat seonggok tubuh yang terkulai begitu saja. Rambutnya berantakan, matanya menyayu, dan lisannya bergumam tidak jelas.

"Dasar jalang bau tanah. Bertopeng sebagai istri terbaik, padahal mengincar anak dari suaminya. Hahahaa menjijikan!"

Tanganya meraih satu botol yang isinya sudah habis setengah kemudian menegaknya begitu saja. Lalu setelah itu, ia buang botol kosong itu ke lantai hingga pecah menjadi berkeping-keping.

"Park Jongseong! Bawa aku pergi dari sini!"

Teriakan itu menggema. Setelahnya, ia merebahkan kepalanya ke pinggiran sofa dan menutupi kedua matanya dengan lengan.

Keadaan berubah hening. Namun, tak lama suara isakan terdengar dari lisan itu. Isakan yang lama-lama berubah menjadi raungan menyayat hati.

"Aku ingin pergi.... biarkan aku pergi...." racaunya.

Park Jay, remaja berusia 16 tahun itu memang mempunyai sisi kelam yang tidak diketahui siapapun. Ia dikenal ramah dan tidak sombong. Punya banyak teman, dan unggul di bidang non akademik.

Namun tak ada yang tahu bahkan mungkin tak menyangka bahwa remaja itu sudah mengonsumsi alkohol sejak berumur 14 tahun.

Semua itu diperparah dengan kedatangan seorang wanita berusia 28 tahun yang papanya bawa untuk mengenalkannya sebagai calon istri.

Semua orang menganggap Jay beruntung karena mendapat ibu sambung yang cantik dan dikenal dermawan. Setiap ada yang mengatakan itu, ingin sekali Jay tertawa keras.

Dari awal Jay memang sudah tidak menyukai wanita busuk itu. Karena ia tahu, arti tatapan calon ibu sambungnya itu berbeda padanya.

Bukan pandangan ibu terhadap anak, melainkan pandangan seorang wanita terhadap pria. Gila bukan?

Diusianya yang ke 15 tahun, Jay hampir saja dinodai oleh wanita yang selalu ia sebut 'jalang bau tanah' itu. Saat itu Jay tak sadar karena obat tidur yang tercampur dalam minumannya.

Jika saja salah satu pelayan setianya tidak memergoki kelakuan bejat wanita itu, Jay tidak bisa membayangkan akan sehancur apa hidupnya nanti.

"Aku sudah mengatakan hal bejat si jalang pada papa hingga mulutku berbusa! Tapi kenapa si tua bangka itu tidak percaya?!"

Jay berdiri dan mengamuk pada semesta. Rasa sakit dari kepingan beling yang menusuk telapak kakinya tak ia pedulikan.

"Cabut saja nyawaku! Jangan biarkan aku hancur ditangan iblis berkedok seorang wanita itu!"

Kakinya tak mampu bertahan dan akhirnya ia terjatuh. Menangis dan meraung mempertanyakan takdir hidupnya yang menyakitkan ini.

"Jongseong... bawa aku pergi dari sini... bawa kembaranmu ini keluar dari penderitaan ini..."

TBC

Hiyaaaaaa😏

Nakula Sadewa || PJS ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang