Balkon utama di lantai dua kediaman keluarga Lavercyn malam itu dijejaki seorang pemudi yang tengah bercakap dengan seseorang melalui sambungan telepon nirkabelnya. Kata maaf berulang kali diucapkannya. Entah apa yang mereka bahas dalam panggilan tersebut, tapi yang jelas putri pertama keluarga ini terus saja mengatakan maaf pada lawan bicaranya.
"Serius Lis, nggak bisa." ucap Rosa menatap lurus kearah langit malam.
Terdengar helaan nafas lelah diseberang sana. "Padahal gue mau curhat banyak ke kalian."
"Gue juga sebenernya. Tapi gimana lagi, luka Risa bener-bener parah. Dia nggak bisa pake sepatu."
"...kenapa Lo nggak kesini aja sih, Lis ? Break-eNd tuh jauh lebih dari rumah lo. " tanya Rosa ke lawan bicaranya yang ia sapa dengan 'Lis' itu.
"Gue nungguin Brandon. Katanya mau ketemu seseorang disini. Bentar lagi kerjaan dia kelar." balas orang itu lagi.
"Serah Lo deh, Lisa emang bucin sejak SMA." kata Rosa berserah. Lisa yang menjadi lawan obrolannya hanya terkekeh karena Rosa mengatakan fakta itu.
"Gue tutup ya. Bilangin Risa nangisnya udahan, malu sama juteknya. Besok gue kesana." kata Lisa pamit.
"Kesini sendiri ?"
"Jelaslah...sama Brandon, ehe."
"Harusnya gue ga usah tanya tadi. Yaudah, have fun ya Lis."
"Thank you Ros."
Panggilan selesai. Rosa kembali menatap langit. Dewi malam sedang cantik-cantiknya hari ini. Rosa suka malam. Malam itu tenang, malam itu sejuk, malam itu teduh.
________________________________
Disisi lain, Jeffan tengah berkumpul bersama teman sejawatnya. Secangkir Kopi hitam Toraja dihadapannya, juga sepiring dimsum udang kesukaannya pun tersaji disana.
"Han, Lo nggak bosen apa makan roti mulu, tiap nongkrong toast doang makanan Lo." cebik salah satu teman Jeffan.
"Nggak tuh." pemuda yang disapa 'Han' hanya menjawab seadanya.
"Udahlah, bread holic dia tuh. Mau Lo gimanain, Yohan tetep bucin sama roti." kata Daksa menengahi.
Semua tertawa. Pemuda maniak roti yang dipanggil Yohan itu hanya mencebikan bibir. Selalu saja seperti itu sejak mereka SMA.
Jeffan, Daksa dan dua temannya—Yohan dan satu lagi yang bernama Jean—tengah mengobrol santai bersama di restoran sederhana.
"Wilsan kemana sih ? Gue bela-belain dari Bogor mampir kesini malah ga join." dengus Yohan sebal.
"Haaah, Wilsan itu anak pengusaha. Kalo mau nongkrong bareng ya bisanya dikantin fakultas atau nunggu jadwal dia longgar." Daksa sedikit menjelaskan tentang teman sekelas Jeffan itu.
Jean melirik ke Daksa didepannya, "si Jep juga anak pengusaha, buktinya dia ga segitunya tuh."
"Jek, orang tua itu beda-beda. Bokap gue belum pengen ngasih tanggungjawab usahanya ke gue sekarang. Dan kalau Wilsan udah dikasih tanggungan sama bokapnya, tandanya bokapnya udah ngerasa kalo anaknya itu mampu." terang Jeffan memberikan prespektifnya pada sobat karibnya itu.
"Iya deh." kata Jean pasrah.
Yohan sekarang tampak sibuk mencelupkan toast selai kacang ke dalam susu coklat hangat kesukaannya. Daksa pun turut menyesap sparkling ice tea miliknya. Jeffan pun tak ketinggalan mencocol dimsumnya dengan saus lantas melahapnya dengan senang hati.
"Yumna apa kabar ?" tanya Jeffan setelah menelan dimsumnya dengan sempurna.
Daksa pun menoleh dan meletakan gawainya. "Ya, gitu deh. Kemarin habis kuliah gue jenguk ke rumah sakit, katanya kepalanya masih berat, terus buat duduk kelamaan lemes. Namanya juga tipes."
Jeffan manggut-manggut. Tiba-tiba ada pemikiran tentang Rosa yang melintas dibenaknya. Tanpa ia duga, sebuah pertanyaan juga dengan timbul dan ingin ia tanyakan.
"Sa, Lo dulu pdkt sama Yumna gimana ?"
Suara orang terbatuk-batuk setelahnya terdengar dimeja bernomor 9 yang mereka berempat duduki. Jean dan Yohan terkejut. Nyaris saja toast yang dimakan Yohan ia telan bulat-bulat tanpa dikunyah. Jean pun ikut tersedak potongan nangka dari es teler pesanannya.
"Lo mau deketin cewe !?" tanya Yohan heboh.
"Demi apa Jep ?" kini Jean ikut menimpali.
Jeffan tampak seperti maling yang tertangkap basah. Sayangnya, kepanikan dirinya bersembunyi dibalik gelagat stay cool khas dirinya.
"Ya gue tanya doang. Kali aja besok-besok berguna gitu." kata Jeffan berkilah.
"Capek ya nungguin Caca selama 2 tahun ?" ledek Daksa jahil. Jeffan hanya mencebikan bibir, ia tau ketiga sahabatnya itu pasti mengerti jawabannya—ah, mungkin empat sahabatnya, termasuk Wilsan.
"Udahlah lepasin aja Caca. Palingan di Korea juga banyak oppa-oppa gantengnya. Tujuan dia kuliah disana juga biar ketemu idolanya kan ?" Jean giliran memberikan sudut pandangnya pada Jeffan.
"Dahlah, kenapa bahas Caca. Jeffan tuh tanya, cara Lo pdkt ke Yumna tuh gimana ?" kini Yohan menengahi, takut kalau Jeffan galau, maka acara nongkrong mereka tidak akan asik lagi.
"Dulu tuh semuanya cuma ngalir aja sih. Awalnya gue deketin adeknya Yumna, si Surya."
"Terus selanjutnya ?" Jeffan masih tampak penasaran.
"Ya ngalir aja. Gue sering main ke rumahnya, buat bantuin adeknya belajar, nge-game bareng, atau bahkan numpang istirahat."
"Yang paling sering Lo lakuin pas mau ke rumah Yumna ngapain, Sa ?" kini Jean ikut penasaran.
"Gue bawain makanan kesukaannya. Itu juga hasil dari tanya ke adeknya doi, kalo ga gitu ya kali gue bisa tau."
Jeffan tampak manggut-manggut. Dia kini berfikir, alurnya untuk mendekati Rosa dengan cara yang sama seperti yang Daksa lakukan.
Bersambung...
Hmmm, PDKT sama Rosa pake caranya Daksa ? Gimana hasilnya ya ?
OKE, MARI KITA COBA. Hihihi, btw bakal langsung update next part kalo tembus 50 vote.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello, Twins!
FanficFt. Idol 97line Jika umumnya anak kembar selalu punya sifat dan kegemaran yang sama, maka tidak dengan dua gadis kembar flaternal ini. Rosa dan Risa adalah dua gadis kembar yang punya banyak sekali perbedaan. . . . . . ©raihannisahayy, 2021