2.8

320 48 42
                                    

°°°

Untuk beberapa alasan, Mahendra benar-benar membenci dirinya sendiri.

Hal itu juga termasuk kala Jenar telah menemukan Saka dengan bantuan tim SAR. Dan bodohnya, Mahendra sedari tadi diam saja di pos jaga, bukannya ikut berpencar mencari seperti yang lain.

Sedari semalam, anak itu tak dapat terpejam barang sedetik pun. Mahendra menelungkupkan kepalanya dalam tekukan lutut untuk menangis tanpa suara. Katakanlah Mahendra lelaki cengeng yang tak dapat diandalkan, dan karena itu pula badannya demam mendadak. Penglihatannya mengabur dan kepalanya serasa diputar macam menaiki wahana di Dufan.

Berakhir sejak tadi subuh, kala rombongannya turun dan mencari bantuan, anak itu tumbang di pos pertama dan berakhir tertidur hingga mendingan.

Dan dalam lelapnya Mahendra tertidur, sayup-sayup ia mendengar suara Saka yang melirihkan namanya. Dan sebab itu pula dirinya dapat terbangun disertai peluh yang menetes dari dahi dan lehernya. Saat melihat ke depan, Jenar, Nana dan Mark berjalan terburu diikuti beberapa tim SAR yang membopong tandu berwarna oranye.

Sesaat, aliran darah Mahendra layaknya berhenti dalam beberapa detik. Dadanya sesak bukan main kala melihat pemandangan di depannya. Juga jantungnya yang entah berada di organ tubuh bagian mana, terasa ikut berhenti berdetak. Air matanya bergumul di bola matanya. Bahkan dengan sekali kedipan, air bening itu dapat meluruh turun.

Namun seolah mengerti apa prasangka terburuk yang Mahendra pikirkan, Mark mendatanginya dan meremas bahunya. Menyemangati Mahendra yang terlihat seakan tak ada gairah hidup di kedua bola matanya.

"Saka kena hipotermia dan semoga aja masih bisa tertolong. Lo doa aja, jangan mikir yang enggak-enggak." Jelas Mark masih mencengkram bahunya keras.

Mahendra tak tahu lagi saat ini dirinya harus bagaimana. Kepalanya pusing tak karuan. Tangannya kedinginan walau memakai sarung tangan tebal. Hidungnya serasa direndam dalam sekuali air es. Setelah itu, sinar mentari layaknya menyorot masuk ke dalam matanya. Membuatnya mau tak mau terpejam karena silaunya bagai menusuk mata.









"Hen?" Seseorang yang diketahui sebagai Jenar menepuk pipinya beberapa kali.

Lama anak itu menunggu, lantas dengan tak sabar mulai menampar pipi Mahendra dengan keras.

"SAKIT ANJENG!"

Akhirnya Mahendra terbangun sembari mengusap pelan pipinya.

"Ya habisnya lo ngigo gak kelar-kelar. Sampai gak bisa tidur nih gue, semaleman sebelahan sama lo!"

Anak itu mendumel kesal, namun sedetik berikutnya ia memamerkan senyuman memukaunya hingga bola matanya hilang tertelan kelopak.

"Dih, apaan lo senyum begitu? Sorry aja gue gak tertarik, Jen. Gak doyan batangan!"

"Apaan sih lo, jing! Gue mau ngucapin selamat jadi males!"

"Selamat menempuh hidup baru?"

"Selamat ulang tahun, tolol!"

"Yailah yang bagusan dikit napa lo ngucapinnya, Jen!"

"Ya lo minta dikatain banget dari tadi. Udah buruan bangun, katanya mau lihat pemandangan dari atas gunung di hari lo lahir ke dunia." Anak itu lantas meninggalkan Mahendra sendirian di dalam tenda.

Elegi Esok Pagi ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang