1.3

867 142 51
                                    

°°°

Sesaat setelah dua anak dari sekolah lain meneriaki ketiganya--membuat Icung yang kaget hampir terjungkal ke belakang, ketiga anak itu akhirnya berlari menelusuri gang-gang sempit. Melewati perkampungan, hingga diteriaki warga. Namun, mereka terus berlari sebab di belakangnya, rombongan siswa dengan senjata tajam siap membasmi ketiganya semudah menebas rumput liar. Mahendra kalang kabut, juga kedua lelaki yang berlari di belakangnya.

"Gua gak kuat, sumpah! Istirahat dulu deh, napas gua tinggal dua!" Icung mengaduh. Napasnya tersengal hingga terdengar seperti orang asma.

Sedangkan Lele di belakangnya terus meneriaki anak itu agar bertahan, "jangan goblok! Lo mau mati di bacok?!"

Ya, walaupun kalimat Lele sungguh kasar dan tak berperi kemanusiaan, namun maksud anak itu baik, ia berusaha mendorong Icung dengan kata-katanya.

Namun tak menggubrisnya, Icung justru berhenti berlari. Kedua tangannya menumpu pada lutut, lantas mulutnya terbuka--mengambil oksigen sebanyak yang ia bisa. Peluhnya menetes di seluruh area wajah, membuatnya terlihat seperti berderai air mata.

Mahendra yang berlari lebih dulu kembali berbalik. Bisa-bisanya Icung masih dapat berpikir untuk istirahat sedang berjarak sepuluh meter darinya terlihat rombongan membawa sajam--siap menebas kepalanya beberapa detik saja. Anak itu berjongkok dihadapan Icung.

"Cepetan, naik ke punggung gue. Kalau lo bener-bener gak kuat lari!" Mahendra berseru dengan nyaring.

Icung malah terpaku, ia menatap Mahendra dengan bingung. Sedangkan Lele di depan sana kembali berteriak kala rombongan dengan sajam itu hanya berjarak beberapa langkah saja dari keduanya. "Naik buruan, Cung! Udah mau deket itu, anying!"

Icung makin kebingungan. Alisnya mengerut naik, namun Mahendra kembali memaksanya untuk tak buang-buang waktu, menjadikannya duduk di balik pundak lelaki itu.

Sebenarnya Mahendra bisa saja berlari duluan, meninggalkan anak lelaki itu beristirahat barang sebentar. Namun, ia kembali mengingat ucapan Mark kala penataran beberapa saat yang lalu. Kalian satu jalur dan harus bersama-sama sampai seterusnya. Itulah yang membuat Mahendra nekat membopong anak itu di punggungnya.

Padahal kalau dibilang lelah, keduanya sama-sama lelah. Apalagi Mahendra harus berbalik untuk menyusul Icung yang tertinggal di belakang. Namun itu bukan apa-apa, rasa solidaritas anak itu tinggi sedari dulu.

Mahendra berlari, membawa beban sebesar badannya di punggung. Sedangkan Lele telah berlari tak jauh di depannya, mengarahkan keduanya agar tak salah jalan. Namun saat sampai di ujung gang, anak itu terlihat ragu, sebab dari pertigaan itu, salah satu jalannya merupakan jalan buntu. Bisa mati di tempat kalau saja mereka salah jalan.

Lele melongok ke belakang, melihat sebegitu dekat jarak ketiganya dengan rombongan ber-celurit. Anak itu gemetaran, wajahnya memucat seketika.

"Kita belok kanan, buruan!" Itu suara Mahendra yang mengomando.

Lele menatap jalanan di sebelah kanannya dengan ragu, "kalau salah jalan, kita bisa mati loh!"

Namun Mahendra sangat yakin jika instingnya saat ini tak salah. Jalanan itu berupa jalanan bersemen—hampir menyerupai trotoar. Siapa tahu, setelah melewatinya bisa menembus jalan raya, kemudian mereka bisa naik angkutan umum dan pulang sampai ke rumah.

Lagipula, ia tak tahu bagaimana nasib kawannya yang lain. Mereka berpisah saat melewati pertigaan di dekat sekolah. Dan juga Jenar, entahlah bagaimana nasib anak itu. Yang jelas, Mahendra berharap seluruhnya aman dari bahaya.

Tanpa ragu, anak itu berlari ke kanan. Membuat Lele yang sudah terdesak di belakang, kembali mengikuti langkahnya. Icung sudah kembali berlari sendiri—ia bilang, napasnya telah membaik. Sekarang dirinya cuma merasa cemas, takut jika tertangkap anak beringas di belakang ketiganya, juga takut kalau Mahendra kelelahan dan pingsan di jalanan. Ya, bagaimana tidak, anak itu telah menggendongnya sejauh 20 meter.

Elegi Esok Pagi ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang