1.6

810 108 58
                                    

Desclaimer; part ini lumayan panjang. Ada 2200 kata. Silahkan tinggalkan segera kalau tidak berkenan membaca.⚠️

°°°

Mahendra duduk sembari bersungut-sungut tatkala Jenar mengambil sepotong gorengan di hadapannya. Berbeda dengan Mahendra yang kesal luar biasa, Jenar hanya duduk sembari menikmati gorengannya. Jujur saja, Jenar juga lupa kalau hari ini adalah hari pertama keduanya mendapat skors untuk tak mengikuti kegiatan pembelajaran.

Dan begitulah Mahendra, saat ini dirinya sedang mendengus. Ia baru saja merelakan waktu tidurnya hanya untuk hal sia-sia dan berakhir nongkrong di angkringan dekat rel kereta.

Angkringan itu beda dari angkringan pada umumnya. Kalau biasanya hanya menggunakan terpal, angkringan ini berbentuk bangunan semi permanen, sebagian dengan tembok semen dan kayu serta triplek yang di cat.

"Lah napa lu berdua pake seragam?" Jenar menyipitkan matanya serupa sabit. Ia menoleh ke utara hanya untuk mendapati pemandangan tiga lelaki dengan setelan kasualnya. Memang, mereka semua yang kena skors akhirnya membuat janji untuk nongkrong di angkringan itu.

Mahendra mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat, seakan menahan emosinya agar tak meledak serupa gunung erupsi. Lantas, anak itu menghela napas panjang--masih berusaha keras untuk tak meledak saat itu juga. "Tanya Jenar. Ini semua salahnya Jenar," jawabnya dengan lelah.

Margo Adijaya—lelaki yang baru saja bertanya pasal pakaian keduanya, kini duduk dan merangkul pundak Mahendra dengan akrab. "Santai lah, bareng-bareng ini kita kena skors."

Memang benar, bukan hanya Mahendra dan Jenar saja yang kena skors. Mereka bertujuh kena skors semua--dan kalau kalian lupa siapa saja, Mahendra akan mengabsennya sekarang.

Margo Adijaya, si pemegang basis. Djuang Purnadi, si judes dengan buku RPAL-nya di penataran. Nayada Nareshwara, anak yang lari ngacir paling depan saat mereka dikejar rombongan siswa ber-celurit kemarin sore. Chenandra Pahlevi, si bocah menyebalkan yang dijemput pria dengan setelan mahal di kantor polisi. Serta Juandra Batara, yang kemarin sempat Mahendra gendong di punggungnya.

Mahendra mendengus, mulai merasa jengah, "ya, tapi, masalahnya dia ganggu waktu tidur gue! Habis itu ngelemparin speaker ke jidat gue lagi! Emang sengaja mau bunuh anak orang."

Sedang Jenar yang tak merasa melakukan kesalahan, menatap Mahendra sebal, "ya, kan, gue gak inget kalau kita kena skors, babi!"

Mendengar Jenar yang semakin menyulut emosinya, Mahendra kontan saja berdiri—hendak menyembur lelaki itu dengan umpatan familiarnya. Mengabsen anggota kebun binatang yang dapat ia sebutkan. Namun, sebelum hal itu benar-benar terjadi, Chenandra Palevi menyumpalkan bakwan jagung di mulut Mahendra. Hal itu membuat Mahendra yang tadinya hendak menyelak tak terima atas perlakuan lelaki yang lebih muda darinya itu jadi berbinar. Ia mengunyah makanan berminyak itu dengan cepat.

"Enak, weh!" Serunya.

Chenandra—atau kerap disapa Lele yang berasal dari nama belakangnya itu lantas berderap dan duduk di samping Mark.

"Lo tuh cuma kelaperan, Hen." Bisa-bisanya anak itu mengatai Mahendra seperti itu, padahal mereka baru mengenal kemarin.

Kalimat itu jelas membuat Mahendra membelalakkan matanya. Namun tak berkomentar atas ucapan lelaki itu.

Sementara lelaki di ujung meja menuding Mahendra dengan dagunya, "lagian, bukannya lo ngungsi di tempat Jenar? Gak tau diri banget udah numpang masih nyalahin tuan rumah."

Kalimat itu benar-benar memutar balikkan moodnya di pagi ini. Namun Mahendra tak menyangkalnya, dan kalau dipikir-pikir, lelaki itu memang salah karena sudah menyudutkan Jenar yang benar-benar kelupaan kalau mereka kena skors. Ya, lagipula, pelipis yang tadinya kena lempar speaker juga sudah tidak kerasa sakitnya.

Elegi Esok Pagi ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang