°°°
Kalau kalian mengira hari itu berakhir begitu saja, kalian salah besar. Karena sore itu, setelah Mahendra serta Jenar mendudukkan bokongnya tepat di samping Icung, ketiga anak lelaki itu masih menunggu seniornya berujar. Ya, sesungguhnya, mereka semua yang telah dikumpulkan di lapangan belakang, sama sekali tak mengetahui motif dan tujuan para senior menyeret mereka.
Jenar mulai mendengus, sesekali jarinya memainkan tanah. Mencoret-coret asal, membuat beberapa cacing keluar dari tempat persembunyiannya.
Icung terperangah, "wow, cacingnya keluar, Jen!" Anak itu berseru, namun tetap meminimalisir suaranya agar tak terdengar senior mereka di depan sana.
"Itu cuma cacing, Cung. Bukan biawak berkaki rubah," Mahendra berusaha menahan amarahnya. Pasalnya, Icung baru saja berseru tepat di telinganya. Ya, tidak terlalu keras sebetulnya, tetapi cukup lah, untuk membuat telinganya berdenging.
Di pikiran Jenar saat ini, Icung itu sebenarnya bocah model apa sih. Pikirannya masih benar-benar seperti anak-anak. Bahkan Jenar akan percaya jika anak itu bilang dirinya baru lulus sekolah dasar kemarin sore. Tapi, ya sudah, mungkin Icung memang benar-benar bocah yang terperangkap di tubuh lelaki 15 tahun.
"Tapi, Hen, cari cacing tanah itu susah loh. Biasanya harus di beri air garam dulu, baru mereka keluar," bocah itu kembali menerangkan. Mukanya benar-benar kelihatan serius ketika berbicara pada Mahendra.
"Emang iya? Lo tau dari mana, kalau harus di kasih air garam?" Kali ini suara Jenar. Kalau Icung benar-benar bocah yang terperangkap di tubuh remaja—masa dia bisa tahu begituan.
Icung mengangguk beberapa kali, kemudian menatap Jenar dengan sama seriusnya, "serius! Kak Ros waktu itu kasih air garam dulu, baru cacingnya pada keluar!"
Mata Mahendra berkedut, sebelum dirinya mengernyitkan alis, "Kak Ros, siapa?"
Icung, dengan tatapan seriusnya, menatap Mahendra tak habis pikir. Ya, bagaimana bisa, sih, lelaki itu tak mengenal karakter yang hobinya marah-marah. Icung menatap Mahendra dengan pandangan 'amat sangat di sayangkan'.
"Lo gak tau kakaknya Upin Ipin?" Baru setelah itu Mahendra mengangguk beberapa kali. Kalau yang di maksud si gahar penyuka warna pink sih, Mahendra pasti tahu, karena dirinya tiap sore juga menonton serial kartun itu.
Menemukan seorang teman yang juga menonton serial favoritnya, Mahendra bersemangat. Ia menyenggol lengan Icung dengan pelan, "lo nonton Upin Ipin juga? Tau gak, Mail punya abang loh!"
Jenar bersumpah, punya satu teman saja sejenis Mahendra sudah membuatnya pusing. Apalagi kini, spesies aneh di depannya bertambah satu lagi, terlebih anak itu seperti bocah berumur 5 tahun. Itu benar-benar membuatnya pusing tak keruan.
"Serius punya abang?? Lo lihat di mana?" Anak itu benar-benar terlihat tertarik. Ia menepuk bahu Mahendra dengan keras, hingga pemiliknya meringis, namun tak mengambil pusing, karena Mahendra suka topik pembicaraan di antara keduanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Elegi Esok Pagi ✓
Fanfiction[END. BUKAN BXB!!!] Pernah dengar mitos tentang capung? Orang Jawa bilang, jika ada capung masuk ke rumahmu, harus segera dikeluarkan karena membawa kesialan. Namun itu hanyalah mitos belaka. Sakania tak akan pernah mempercayai mitos begituan. Lagi...