2.3

331 57 42
                                    

°°°

"Hah? Gue gak lagi ikut audisi Tenaga Militer, bang," kilah Mahendra.

Juna menyikut siku anak itu dengan keras. Bodoh. Jelas-jelas maksudnya bukan itu. Sudah mendapat kepercayaan, Mahendra malah membuatnya seolah-olah lelucon.

Mark tertawa, lantas mulai mendekatkan wajahnya ke ujung meja. "Bukan itu maksud gue."

"Lo jadi panglima di basis, gue ketuanya. Gue yang ngasih perintah buat lawan kalau ada penyerangan. Lo yang nerima perintah dan atur, lo juga yang mimpin penyerangan," Jelas Mark dengan cukup ringkas.

Namun dengan bodohnya, Mahendra justru menyipitkan matanya. Tanda bahwa penjelasan Mark barusan tak dapat masuk di otaknya. "Gue gak ngerti, bang."

Hal itu membuat teman-temannya menoleh kepada Mahendra. Bisa-bisanya anak itu masih tak mengerti setelah dijelaskan.

"Maksud gue, gue gak ngerti kenapa mesti gue yang ditunjuk. Gue cuma bisa nyanggah dan ngebantah doang loh ini, masa jadi panglima. Si Juna aja tuh, yang pinter. Nanti kalau ada yang nyerang, main tebak-tebakan aja ibukota Malaysia tuh mana," ujarnya dengan santai.

Juna yang disebut namanya sudah menghela napas lelah. Matanya menutup, seolah dirinya telah puas menyumpahi Mahendra dalam benak.

Memang anak tak tahu diri! Sudah diberi kepercayaan malah menolak dan mengopernya ke Juna lagi.

Mark terkekeh, "asal lo tahu, Hen. Gue udah ngincer lo dari pertama kali penataran. Makanya gue seret lo waktu itu, takutnya lo ngebantah terus kabur. Bagusnya, ketambahan si Jenar yang tanpa disuruh udah ngintilin."

Sialan. Pantas saja waktu itu Mark menyeretnya secara paksa. Lantas berdiam sembari menunggunya duduk selama beberapa saat selama penataran berlangsung.

"Solidaritas lo tinggi. Lo bahkan nolongin Icung dua kali waktu itu."

Mahendra terperangah. Begitukah? Bahkan anak itu tak mengingatnya sama sekali.

"Kok lo tau?" Tanyanya.

"Icung sendiri yang cerita." Membuatnya lantas menatap Icung dengan tatapan mengintimidasi. Icung hanya terkekeh sembari menampilkan dua jarinya seolah membentuk tanda peace.

"Gimana? Mau kan? Harus mau, karena gak ada lagi Mahendra yang lainnya," Titah Mark.

🌻

Sepulang dari sekolah, setelah Mark membubarkan seluruhnya dari perkumpulan anggota basis yang ia adakan di kantin, Nayada Nareshwara tak serta merta kembali ke rumah. Anak itu mengganti seragamnya menjadi setelan kasual; kaos polos yang dibalut jaket dan juga celana jeans.

Alih-alih berjalan ke arah rumah, Nana justru berbelok pada gang yang berlawanan arah dengan rumahnya. Lantas, selagi terlihat palang kedai bertuliskan; Teman Bercerita, anak itu mulai masuk ke dalam.

Sebuah lonceng yang ada di atas pintu masuk berbunyi, menandakan dirinya telah memasuki kedai. Anak itu lantas pergi ke ujung kedai, di mana bagian outdoor dengan panggung kecil beserta teralis terdapat di sana. Sebuah piano berukuran sedang juga terpampang di atas panggung.

Nana duduk di sana, bersiap dengan pianonya selagi seorang perempuan seusia kakaknya--yang tak lain ialah waiters, datang kepadanya sembari berdeham.

Elegi Esok Pagi ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang