1.2

1K 142 37
                                    

°°°

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

°°°

Selepas Margo—maksudnya Mark, menjelaskan secara singkat alasan kenapa mereka di kumpulkan di lapangan belakang, Jenar sudah berpikir bahwa ekspektasinya bersekolah untuk memacari para gadis di sekolah sebelah harus tandas.

Sebetulnya, salah satu alasannya masuk sekolah ini ialah untuk mengejar mimpi menjadi seorang Don Juan walaupun kelas kakap. Ya, Jenar cuma mau dipandang sebagai anak teknik keren yang bisa otak-atik kabel, lantas melemahkan hati para wanita--seperti di sekolahnya yang lama.

Namun, itu semua hanya bayangannya yang bahkan tak dapat di realisasikan. Sebab hari ini, Jenar baru saja menyadari bahwa hari-harinya akan terisi penuh oleh lelaki blangsak. Dan itu semua karena dirinya mengikuti Mahendra yang diseret senior untuk mengikuti penataran anggota basis. Jenar hanya bisa bernapas panjang, berusaha ikhlas karena sudah terlanjur.

"Jadi, basis atau panjangnya barisan siswa ini, sudah terbentuk dari lama. Mungkin dari jaman bapak kalian masih sekolah dulu. Kita terdiri dari anak kelas satu, dua, dan tiga yang merasa terancam oleh musuh! Makanya, kalian satu basis, kalau pergi harus sama-sama, baik berangkat atau pulang. Intinya, kita satu jalur dan harus bersama-sama sampai seterusnya."

Ocehan Mark membuat Mahendra mengantuk. Sungguh, kata-kata anak itu berkelit. Padahal intinya, mereka cuma harus kemanapun bersama, pulang dan berangkat barengan--seperti yang Mahendra lihat belakangan, kakak kelas serampangan yang turun dari angkot ramai-ramai.

Tanpa aba, Mark menyuruh beberapa anak di hadapannya untuk mulai tengkurap—yang tadinya puluhan, sudah di pisah masing-masing menurut jalurnya. Dan anehnya, Mahendra dan Jenar satu basis dengan dua lelaki yang sebelumnya sudah berkenalan dengannya-—Icung dan Juna, serta dua anak lain yang tak mereka kenali. Mark mengomando seluruhnya, menyuruh anak-anak itu push up, sit up, dan bahkan lari-larian dengan lompat kodok hingga seragamnya terlihat kumal.

Lantas Mark beralih mengomando agar calon anggota basis yang ia pegang duduk melingkar. Mahendra menyeka peluhnya, mulai menggerutu karena kepanasan. "Ini kita jurusan Teknik rasa TNI ya," anak itu berbisik lirih pada Jenar di sebelahnya.

Sedangkan Jenar di sisinya terdiam. Dadanya terlihat naik turun, peluhnya menetes dari jidat tanpa di seka. Bocah itu mati-matian menahan rasa lelahnya. Terlebih, tenggorokannya terasa amat kering. Dan kalau Jenar membalas ucapan Mahendra barusan, ia sama saja membuang tenaganya. Dan terlebih daripada itu, anak itu lebih tertarik untuk diam-diam menelan ludahnya sendiri--sedikit menghilangkan rasa hausnya.

Dengan tenaga tersisa, Jenar melihat Mark mulai membagikan sebuah cabai berwarna merah pada satu persatu anak. Firasatnya mulai tak enak lagi kala Mark mulai membuka mulutnya untuk menjelaskan, "cabai itu harus kalian habisin, gak boleh ada sisa, dan harus di telan! Tapi, gua cuma punya gorengan satu nih!" Lelaki itu menyodorkan sebuah gorengan yang Jenar ketahui sebagai tempe mendoan pada lengan kanannya.

Elegi Esok Pagi ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang