2.9

345 52 42
                                    

°°°

Mahendra tergopoh dengan kening yang basah. Sebelah sandal yang hilang dan juga jemari tangan yang kering karena belum sempat menyentuh air kobokan setelah makan malamnya terganggu dengan sangat tak mengenakkan.

Anak itu bahkan tak repot-repot untuk memikirkan Sakania yang tertinggal di sana. Bukannya Mahendra tak bertanggung jawab, anak itu hanya didera panik bukan kepayang kala mendengar suara Mark di seberang telepon.

Lantas di sini lah ia berada. Berjalan mondar-mandir selagi menunggu Mark keluar dari pintu UGD.

"Bang!" Serunya kala Mark berjalan keluar—ke arahnya.

"Kok bisa?!" Mahendra menuntutnya.

Anak itu tentu saja butuh kejelasan. Sebab sesaat setelah mereka berpisah saat turun gunung, Icung baik-baik saja. Bahkan seluruhnya dapat dipastikan dalam kondisi sehat.

Mark mendengus. "Boleh nanti aja gue jelasinnya? Goldar lo sama kayak Icung kan?"

Mahendra sampai melupakan tujuannya kemari. Anak itu memiliki golongan darah yang sama dengan Icung. Maka dari itu, dengan itu ia bergegas untuk diperiksa—apakah darahnya layak untuk didonorkan atau tidak.





"Icung butuh dua kantong. Lo gak pa-pa, Hen?" Suara Mark terdengar menggema di ujung koridor.

Keduanya saat ini tengah duduk dalam diam. Menetralkan kecepatan jantung keduanya yang sama-sama terguncang kala mendapati kabar Icung masuk rumah sakit.

Mahendra selesai diperiksa, dan anak itu tengah menunggu para medis menyiapkan segala yang dibutuhkan selama donor darah, karena darah Mahendra cocok dengan Icung.

"Ya gak pa-pa lah, emangnya kenapa? Icung itu temen gue. Udah gue anggep layaknya saudara, sama halnya dengan yang lain," Jawabnya kemudian.

Kalimat itu membuat Mark tenang seketika. Sebagai yang tertua, ia paling memiliki tanggung jawab besar.

"Gue belum bilang ya, Icung kena bacok di punggung belakang. Dan setelah diselidiki, pelakunya udah ketemu."

Kontan saja Mahendra menatap Mark dengan binar harap yang terlihat jelas. Dan bagai mengetahui apa yang Mahendra pikirkan, anak itu menjawabnya.

"Gak bisa ditangkep, Hen. Dia punya orang dalam. Makanya kenapa gue yang ada di sini bukannya orang tuanya Icung, karena mereka masih mau nuntut pelakunya."

Mahendra tak habis pikir. Bagaimana bisa hukum di negaranya tak berlaku adil macam itu.

"Emangnya siapa sih orangnya?! Sebegitunya banget punya kuasa."

"Aceng, Hen. Yang lo lawan waktu itu. Gue juga gak tahu kenapa dia masih ada dendam sama basis kita, padahal tawurannya udah agak lama."

Dan untuk itu Mahendra kini paham, kenapa solidaritas tinggi itu benar-benar dibutuhkan dalam basis. Mahendra tahu apa yang akan dilakukannya adalah salah, namun ia menolak paham. Apalagi dengan kawannya yang tengah terbaring tak berdaya di Unit Gawat Darurat begitu. Mahendra tak mungkin diam saja.

"Harus gue balas, biar jera." Ucapnya kala itu, sebelum dirinya dipanggil kembali untuk menjalani donor darah.

Mark menghela napas. Lelah tentu saja, ia yang dari tadi kesana-kemari mengurus sendirian. Namun kini perasaannya sedikit lega karena Mahendra tengah berbaring di dalam unit untuk mendonorkan darahnya pada anggota termuda dalam basis.

"Cung... Plis kenapa lo goblok banget sih pake acara lewat depan markasnya si Aceng," monolognya sembari menyenderkan kepala pada tiang penyangga.

Lantas anak itu meraih ponsel dari saku celananya dan berniat menghubungi seseorang.

Elegi Esok Pagi ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang