1.7

648 95 41
                                    

°°°

Dari sekian banyak hal yang Mahendra inginkan, saat ini dirinya hanya ingin mencairkan suasana. Ya, sebetulnya Mahendra tipe orang yang supel dan cepat mencari topik pembicaraan. Namun entah kenapa, di hadapan Sakania, hal itu menghilang bagai diterjang angin yang sejak tadi berhembus dengan pelan.

Mahendra sesekali melongok ke belakang, hanya untuk melihat kawanannya yang masih setia berjalan tak jauh di belakangnya. Sesekali mendengar teriakan seorang Nayada Nareshwara yang membuatnya geram.

"Ngomong, Hen! Cicing wae siga gagu!"

Kalau Mahendra sudah berada di sebelahnya, sudah pasti kedua pipi Nana bakal memar, sebab Mahendra bisa saja menonjoknya hingga menggelepar.

"Kamu nggak pulang?" Adalah kalimat pertama yang berhasil memecahkan suasana di antara keduanya.

Baru ditanya seperti itu, Mahendra sudah merasakan sesuatu yang membuncah dalam dadanya. Hatinya berdebar tak keruan.

"Ini kan mau pulang." Anak itu menjawabnya dengan menebar senyum, seolah Sakania akan luluh saat melihatnya.

"Oh searah juga?" Gadis itu kembali bertanya.

"Iya, tapi mau anterin kamu duluan." Jawaban itu kontan membuat Sakania menatapnya.

"Dibilang nggak usah, kan bisa sendiri."

Namun Mahendra kembali mengucapkan kalimatnya beberapa waktu yang lalu. "Iya, bisa sendiri. Tapi gak tau apa yang bakal terjadi."

Membuat Sakania mendengus mendengarnya, namun tak meladeni ucapan Mahendra lagi.

Ya, paling tidak, anak itu harus tahu dimana rumahnya. Untuk jaga-jaga saja, kalau semisal ia tak akan pernah bertemu Saka lagi, Mahendra kan bisa ngapel ke rumahnya.

Lagi-lagi tak ada perbincangan di antara keduanya. Sakania dengan pikiran yang was-was dengan sosok lelaki yang baru saja dikenalnya, juga Mahendra yang bingung harus berucap apa. Yang ia pikirkan saat ini hanyalah Sakania yang cantik dengan garis wajahnya. Rambutnya lurus sebahu, matanya walau terlihat sayu, membuat anak itu kian sempurna di mata Mahendra.

Mahendra cuma bisa berdoa agar dipertemukan kembali dengan Sakania. Ya, sejak awal melihatnya berjalan sendirian tadi, Mahendra sudah naksir. Anak laki-laki, memang mudah jatuh hati.

"Masoy, ayo pulang! Lo ngapain lurus, mau pindah rumah?" Itu teriakan Jenar di belakang sana.

Mahendra pikir, keenam anak itu telah mendahuluinya berbelok—pasalnya, saat ini ia mengambil jalan lurus, mengikuti Sakania yang masih berjalan.

Icung menatap Jenar sejenak, kemudian hidungnya berkedut karena debu. "Mahendra tuh, beneran mau pindah di penampungan dekat karang taruna?"

Jenar tak menanggapinya. Sudah duluan malas melihat betapa polosnya bocah itu. Ia berpikir bahwa dugaannya di awal memang benar. Agaknya, anak itu memang bocah lima tahun yang terperangkap di tubuh remaja.

Juna di sebelahnya mendengus, juga malas untuk kembali memberitahu anak itu. Sedangkan Lele, si sumber dari segala sumber penyebab Icung bertanya pasal penampungan, cuma bisa menarik napas panjang.

"Kayaknya ortu lo nyogok ya, waktu lo gak lulus SD." Kontan saja Mark terbahak mendengar guyonan seorang Lele.

Icung di sebelahnya menganga, telapak tangannya menutupi mulutnya. "Sumpah? Lo tau dari mana? Lo cenayang? Jadi gue gak lulus SD?"

Membuat Mark makin menjadi-jadi. Ia tertawa bahkan sempat menghentikan langkahnya hanya untuk berjongkok dan menepukkan tangannya berulang kali, macam orang ayan.

Elegi Esok Pagi ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang