3.0

447 51 13
                                    

°°°

Jika boleh bertanya satu hal, Sakania ingin menanyakan arti keberadaannya di hidup Mahendra. Pasalnya, anak lelaki itu terus saja hadir dalam hari-harinya. Menemaninya di kala senang maupun sedih. Di kala panas atau pun hujan. Namun, layaknya lelaki buaya pada umumnya, Mahendra sama sekali tak menganggap eksistensi Sakania berperan besar dalam hidupnya. Atau mungkin iya, hanya anak itu tak menunjukkannya barang sekilas.

Setelah tadi malam meninggalkannya di warung pecel lamongan di pinggir jalan daerah Dago, Mahendra belum menampakkan batang hidungnya lagi. Dan kalau pun anak itu tak lagi menyempatkan diri bertemu Saka, Saka tak akan lagi keberatan. Mahendra hanyalah menambah hari-harinya makin berat.

Tentu saja, Mahendra sama sekali tak mengikatnya dalam suatu hubungan, namun terus saja berlaku sebagai mana dirinya seorang pasangan bagi Sakania. Ditambah ia merasa dongkol level mutakhir karena pesanan yang salah diantar, Mahendra justru meninggalkannya dalam kesunyian.

Sepulang dari sekolah, Sakania bergegas menuju pemakaman umum—tempat di mana Kai berada, juga tempat di mana ayah dari Mahendra Wicaksana dikebumikan. Alasannya? Tentu saja anak itu mencari keberadaan Mahendra. Ya, walaupun kesal bukan main, Sakania harus tetap melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa lelaki itu baik-baik saja.

Sesampainya di sana, Sakania tak mendapati lelaki itu. Pandangannya mengedar ke seluruh sisi, dan berakhir menemukan sesosok pria tua yang tengah rehat di bawah pohon kamboja. Di sebelahnya terdapat sapu ijuk yang beberapa panjang ijuknya tak lagi sama. Sakania berakhir melangkahkan kakinya mendekat, kepada sosok yang diketahuinya sebagai Kai.

"Kai," Saka memanggilnya lirih, tanpa ada niatin mengganggu pria tua yang tengah merehatkan tubuhnya yang ringkih.

Kelopak matanya terbuka saat itu juga, badan ringkihnya berusaha tegap walau hal itu sulit dilakukan kembali pada usianya yang lebih dari setengah abad.

Lantas Pak Kadrun tersenyum menatap perempuan di hadapannya. "Sakania nu kabogohna Mahendra, Nya?" (Sakania yang pacarnya Mahendra, ya?)

Saka tersenyum dengan berat. "lebih tepatnya teman, Kai."

Lelaki tua itu mengangguk beberapa kali. Lantas bertanya, "aya naon, Neng? Cari A Mahendra?"

Tak mendapat jawaban, Pak Kadrun lantas mengimbuhinya. "Ari Mahendra belum ke sini lagi. Terakhir waktu kenalin kamu di toko punya Kai itu. Mungkin anaknya sedang sibuk, biasanya dalam seminggu gak pernah lewat untuk datang ke Ayahnya."

Lantas kalau tak kemari, Mahendra ke mana? Apakah urusannya tadi malam sangat genting hingga tak sempat menemui Kai dan juga berkunjung ke makam ayahnya? Sedangkan Kai bilang anak itu tak pernah melewatkan satu hari pun dalam seminggu untuk tak berkunjung ke makam Ayahnya. Bahkan, setelah tadi malam meninggalkannya begitu saja, Mahendra belum menghubunginya kembali.

"Gak bilang ke kamu memangnya?" lamunan Saka membuyar kala itu juga. Ia menatap lelaki tua yang duduk di hadapannya dengan kaos oblong yang pada bagian bahunya telah bolong.

Sakania menggeleng disertai ringisan. Mungkin eksistensinya memang tak seharusnya diprioritaskan di kehidupan Mahendra. Lantas Saka mendekat untuk duduk di sebelah Kai.

"Mahendra gak bilang apa-apa sama Saka. Tadi malam ada ketemu sama Saka, tapi anaknya tiba-tiba dapet panggilan mendesak terus pergi gitu aja, ninggalin Saka." Lanjutnya.

Kai menyunggingkan senyumnya beberapa saat. Masalah anak muda, kurangnya komunikasi macam itu sudah berulangkali terjadi pada dirinya di masa dahulu.

Lantas, Kai tersenyum lagi. Di tengah senyuman hangatnya, pria tua itu terbatuk beberapa lama. Batuk tanpa dahak, yang siapapun saja dapat membayangkan betapa pedihnya kerongkongannya saat itu juga. Sakania tergagap, mengulurkan tangannya dengan segan. Namun tepukan lembut berakhir jatuh pada punggung Pak Kadrun.

Elegi Esok Pagi ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang