Apa kau masih ingat saat dimana lebaran pertama kita dihantui dengan perkara salah paham? Aku masih ingat betul saat dimana kau menangis. Dan kita yang masih belum siap orang-orang tahu bahwa langkah kaki kita sedang jalan beriringan. Kau juga pasti mengingat saat dimana jam tidur kita bersebrangan. Kau menjadi manusia normal, sedangkan aku menjadi nocturnal. Di saat siang harimu berisi jam-jam padat kuliah. Di saat malam hariku yang berisi jualan hingga adzan subuh berkumandang. Saat itu, kita tidak pernah mempermasalahkan hal-hal kecil yang membuat kita terasa jauh. Yang ada, kau selalu saja mengingatkanku agar aku beristirahat dengan cukup. Dan aku yang senantiasa menuliskan bait malam yang kau baca saat mentari membangunkan tidurmu.
Sederhana yang berubah menjadi rasa takut di saat dia tahu bahwa saat itu aku sedang menjalani hari-hariku bersamamu. Dia yang menginginkanmu berubah menjadi sosok yang menakutkan bagimu, bagi kita. Kau ingat tidak, saat itu kita hampir saja menyerah dengan keadaan. Hampir saja dipaksa bubar karena kita berdua sama-sama tidak ingin dia terluka. Nasi sudah menjadi bubur. Bubar pun tidak akan menyelesaikan masalah. Kita mencoba bertahan, saling menguatkan, meyakinkan bahwa segalanya akan baik-baik saja. Waktu terus berjalan sampai akhirnya kita berdua menemui titik terang. Dia berhasil menyembuhkan lukanya, aku yang berhasil pulih dari kecelakaan dan mendapatkan kerja untuk pertama kalinya, dan kau yang selalu ada di saat aku membutuhkan dukungan. Aku masih ingat betul saat dimana perban di kakiku sengaja kulapisi plester dengan ukiran huruf A. Sengaja agar namamu yang kuingat di setiap kali aku lupa menggunakan obat, hehe. Lebaran pertama kita usai.
Ada kehangatan di saat bisa melihatmu kembali tertawa. Lega. Bersyukur. Kumantapkan hati ini agar tidak lagi membawamu pada masa-masa sulit seperti kemarin. Tapi sepertinya do'a belum juga dijabah. Lagi-lagi aku menjadi pengangguran. Keluar dikarenakan tidak mencapai target membuatku harus berbesar hati untuk kembali membuat lamaran yang kukirimkan pada perusahaan di segala penjuru. Selama bisa memenuhi isi perut, aku yakin hidupku akan baik-baik saja. Lantas bagaimana denganmu? Sepertinya aku adalah orang paling beruntung. Kau adalah penenang di saat penolakan demi penolakan silih berganti. Kau adalah orang yang tidak pernah absen untuk memberi ucapan semangat di saat aku mulai pesimis. Meski ucapan hanya pemanis, tapi bagiku kau lah satu-satunya yang tidak pernah pergi. Hingga kabar baik datang, selain Ibu dan Ayah, Kau lah yang turut berbahagia mendengar lamaranku pada akhirnya mendapatkan jawaban. Di satu sisi, aku selalu menjadi orang yang merepotkan. Membuatmu khawatir tiap kali aku hilang kabar, jarang bertanya sedang apa, dan seringkali membuatmu marah hingga merasa bersalah.
Tahun berlalu, dunia kerja membawaku pada kehidupan stagnan bertempo sangat tinggi. Hampir setiap hariku berisi laporan, komplain, notifikasi pesan pelanggan, telepon, keliling, dan lain sebagainya. Dengan repetisi yang sama selama lima hari dan berulang selama empat minggu, bisa tidur di hari libur menjadi barang yang sangat istimewa dalam hidupku. Lambat laun pola hidup yang seperti ini mengikis waktu yang seharusnya kubawa bersamamu. Beberapa kali Kau dan Aku berselisih paham. Kau marah meminta waktuku untukmu kembali. Aku marah karena ingin kau mengerti. Kita berdua sulit menemui titik temu di saat waktu berjalan dengan begitu hebatnya. Lelah dengan kantor membuatku lebih memilih tidur ketimbang menambah bara pada kepalamu yang sudah berapi-api. Pikrku menunggu kepalamu dingin lebih baik daripada kita berbicara sambil kepanasan. Lagi-lagi kau yang mengalah. Menurunkan ego demi kembali menyelaraskan langkah. Namun dengan langkahku yang kali ini begitu cepat, lagi-lagi kita bersitegang. Sepertinya kau kesulitan dengan pola hidupku yang baru. Namun sejujurnya aku lelah. Pola hidup seperti ini tidak akan pernah berakhir. Dan akan terus bertambah hebat demi percepatan organisasi, katanya. Dalam hati ada keinginan untuk kembali pada saat dimana hidup berjalan sangat lambat, sehingga banyak hikmah untuk dijadikan pelajaran. Hingga langit sore kembali bisa kulihat dengan tanpa beban, bersamamu tentunya. Aku rindu saat dimana kau dan aku saling mendo'akan dalam keselamatan. Aku rindu saat dimana kau dan aku tidak mempermasalahkan perbedaan waktu dan jam tidur kita. Aku rindu saat dimana diam sambil melihatmu tersenyum menjadi kebahagiaan yang luar biasa di hidupku. Aku rindu saat dimana pertemuan denganmu menjadi barang mahal yang sangat kita nanti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hari Ini - "Aku ada pada setiap diam."
Poetry[On going] [Revisi setelah tamat] Adalah pagi yang membuatmu belajar bersinar, Adalah malam yang membuatmu belajar mensyukuri nikmat. Kita tidak akan pernah tahu bagaimana roda-roda kehidupan membawa serta menetapkan kita pada suatu titik kehidupan...