Malam ini Surabaya terasa lebih dingin dari biasanya. Apa di sana kau juga merasakan hal serupa? Sejak hari kau memilih pergi, hidup benar-benar membawaku pada berbagai pilihan yang sulit. Tidak jarang juga aku menganggap hidup terasa kurang adil saja. Terlebih untuk kita.
Bagaimana kabarmu? Sejak memutuskan untuk berada pada jalan kita masing-masing kadang aku masih saja mengintip ruang yang biasa menjadi percakapan kita. Berharap tulisan online menghiasi jendela notifmu, dan di saat yang sama kau juga sedang menungguku untuk mengirimkan pesan padamu lebih dulu. Sungguh, imajinasiku saja yang keterlaluan. Aku berharap kita masih saja menjadi dua orang yang saling tunggu untuk berkirim pesan. Saling sungkan untuk menjadi orang pertama yang mengucap salam. Dan jujur saja, lagi-lagi hatiku kalah. Aku kembali mengetik salam pada kolom percakapan kita, lalu mengirimkan pada jendela whatsappmu tanpa berpikir panjang. Berharap di saat yang sama centangnya segera membiru dan kau membalasnya dengan hangat. Pertanda kita berdua masih saling berharap satu sama lain.
Sayangnya harapanku terlalu tinggi. Melebihi tinggiku sendiri. Aku lupa jika bukan hanya namaku yang menghiasi ponselmu. Aku lupa jika kesibukanmu bukan hanya untuk membalas setiap tulisan atau candaan absurdku. Aku lupa bahwa duniamu bukan hanya berisi apapun tentangku. Dan aku lupa bahwa harapanmu sudah bukan lagi ada di pundakku. Perlahan aku sadar, bahwa menunggumu datang hanyalah sebatas angan-angan semu. Pesan itu tidak segera berubah menjadi centang biru. Entah kenapa notif onlinemu justru membuat hati ini bergemuruh. Sesak saja rasanya. Tapi tidak tahu harus berbuat apa.
Aku menenangkan diri. Mencoba menyerahkan semuanya pada keadaan. Dan berpikir bahwa mungkin saja kau sedang diburu oleh waktu. Aku kembali menutup ruang percakapan kita. Dengan status centang pesan berwarna abu-abu. Mengambang seperti harapanku. Yang dengan bodohnya masih saja berpikir kau akan datang. Meski nyata-nyata aku pun tahu bahwa sudah semestinya aku menyerah.
Sambil menyiapkan makan untuk Bapak, seberes merapikan rumah, mengecek keadaan Ibu, menyelesaikan Laporan-laporan kantor, aku kembali menatap layar. Adalah ruang obrolan kita yang menjadi prioritas untukku cari terlebih dahulu. Dengan harapan yang sangat besar ternyata kau menjatuhkanku lagi dan lagi. Centang itu masih saja berwarna abu-abu, tidak ada perubahan. Hingga pesan itu menjadi tidak terurus. Tertutup oleh broadcast dan percakapan dari grup yang sebenarnya sudah lama aku senyapkan. Mungkin saja kau lupa bahwa dulu kita pernah berjanji untuk saling mencoba. Saling memaafkan, dan saling menguatkan. Terlepas semua itu ada, saat ini kau benar-benar menyuruhku untuk menyerah. Untuk tidak lagi berharap. Untuk tidak lagi mengingatmu. Untuk tidak lagi menanyakan kabarmu, juga apapun tentangmu.
Akhirnya jendela kamar mulai kututup. Beberapa hal yang hilang dariku membuat dingin itu terasa tidak karuan dan menusuk. Aku mulai mengalihkan pandangan. Menaruh ponselku beserta semua harapan di dalamnya. Mencoba untuk tidak kembali pada euforia sesaat. Kini tugasku adalah membuat Bapak dan Ibu kembali pulih. Aku pun mulai terbiasa hidup berdampingan dengan rasa sakit. Jadi biar aku saja yang merasakannya. Melihat Ibu dan Bapak sehat adalah bahagia yang tidak ternilai. Dan kepada Kau, aku harap kau selalu bahagia dengan jalan yang kau pilih. Aku pergi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hari Ini - "Aku ada pada setiap diam."
Poesía[On going] [Revisi setelah tamat] Adalah pagi yang membuatmu belajar bersinar, Adalah malam yang membuatmu belajar mensyukuri nikmat. Kita tidak akan pernah tahu bagaimana roda-roda kehidupan membawa serta menetapkan kita pada suatu titik kehidupan...