Pengakuan

373 22 0
                                    

Aku pernah ditolak oleh salah seorang teman perempuan yang pernah kusuka. Aku sempat mengingat beberapa kalimat yang pernah disampaikan olehnya dulu. Dia berkata jika ada beberapa hal yang tidak disukainya dariku. Katanya karena aku terlalu kekanak-kanakan. Jika diibaratkan bintang, aku ingin menjadi bintang yang paling terang. Hingga seluruh alam semesta tahu keberadaan ku. Namun dia tidak menyukai hal itu.

Baik..

Mungkin aku tidak banyak membahas proses ditolaknya. Aku hanya ingin melihat bagaimana waktu itu sekuat hati aku berusaha mengubah diriku sendiri hingga sesuai dengan apa yang ia mau. Hebatnya, aku berhasil, meski hanya beberapa hari. Sisanya ? aku tersiksa. Cermin seakan mengenalkan ku pada sosok lain yang tidak pernah kukenal sebelumnya. “kamu siapa ?”, tanyaku pada cermin dengan penuh keanehan. Makhluk dalam cermin itu tersenyum lalu tertawa terbahak-bahak. Mengerikan. Aku seakan melihat orang gila pada diriku sendiri. Kucoba memalingkan wajah dari makhluk itu. Lalu coba ku pejamkan mata sedikit lama.

Aku bertanya, “kenapa sebegitu inginnya aku mengubah diriku sendiri ?”

Seorang kawan dari tempatku belajar dulu pernah berkata bahwa manusia adalah makhluk yang mudah mengimitasi atau meniru perilaku manusia yang lain. Sebagai contoh, aku ingat dimana masa kecilku dulu sangat erat dengan permainan. Di kampung halamanku sendiri, terdapat tiga, bahkan empat musim permainan. Musim pertama dihabiskan oleh musim permainan kelereng. Semua anak, kawan-kawanku, termasuk aku sering membeli kelereng sepulang sekolah ke bapak tua bertopi yang menjual mainan anak dengan ditemani sepeda ayun tuanya yang bertengger di depan pagar sekolahan. Awalnya aku tidak tahu bagaimana cara bermain kelereng. Melihat kawan-kawan yang asik sendiri dengan kelereng yang saling bertabrakan hebat setelah ditembakkan membuatku tak kuasa membendung keinginan untuk ikut memainkan kaca bundar tersebut. Setelah percobaan pertama, rasa suka tumbuh, dan keinginan untuk memainkannya berulang-ulang muncul.

Musim kedua, waktu itu sedang musim film serial superhero yang berjuang hebat membela kebenaran dan mengalahkan semua musuh dengan sekuat tenaganya. Film yang laganya selalu ditunggu oleh anak-anak seusiaku setiap pagi di hari minggu. Sampai pada suatu titik, terdapat kartu bergambar yang bisa dikoleksi oleh anak-anak seusiaku. Walau ada juga orang dewasa yang membelinya karena kecintaannya terhadap film tersebut. Musim kedua ini kami habiskan oleh permainan kartu bergambar tokoh superhero yang saling dibenturkan. Lalu dilepaskan kembali sampai kedua kartu jatuh ke tanah. Kartu yang posisi gambar superhero nya berada di atas maka dia dinyatakan menang. Dan yang menang berhak memilih beberapa kartu milik lawannya yang kemudian diakuisisi sebagai miliknya sendiri. Semua anak termasuk aku sibuk mengumpulkan kartu dengan gambar yang berbeda-beda sampai semua tokoh superhero (termasuk tokoh antagonisnya) harus lengkap di dalam genggaman. Caranya dengan bisa beli atau mencari lawan toss kartu sampai menang.

Musim ketiga, memasuki bulan januari dan februari, musim dimana cuaca panas yang akrab berdampingan dengan angin kencang ini banyak dihabiskan oleh sebagian besar manusia untuk memainkan layang-layang. Mulai dari layang aduan hingga layang hias semuanya terbang menghiasi langit yang sebelumnya hanya memancarkan biru berhias lautan awan. Kini lautan awan tidak sendiri. Ia memiliki kerabat baru bernama layang-layang. Aku yang awalnya hanya suka memandangi langit, kini juga harus belajar mencintai karya tangan manusia tersebut terbang berdampingan dengan awan di angkasa setiap harinya. Lambat laun, rasa cinta ini mengantarkan ku untuk mencicipi rasanya menerbangkan layang-layang. Meski susah, tapi aku berhasil menikmati setiap menitnya saat menerbangkan, berduel, bahkan mengejar saat ada layang-layang yang tumbang dan terjun dari angkasa.

Dari tiga musim ini saat perilaku imitasi masih sangat erat dengan masa anak-anak, aku tidak pernah merasakan kehadiran makhluk aneh bernama “menjadi orang lain”. Dulu, dengan lantang aku berani menunjukan bagaimana warna warni hidup di tengah banyaknya perbedaan status, kelas sosial, dan latar belakang tidak lantas membuat suatu ikatan menjadi terhambat. Hal ini yang mungkin kurang aku dapatkan saat aku mulai beranjak dewasa. Dimana setiap hal kecil sangat amat diperhatikan. Ada sedikit saja perbedaan maka siap-siap untuk tidak dianggap dalam lingkungan pergaulan. Tidak kaget jikalau kita sering mendengar istilah Manusia Bermuka Dua. Mereka hadir bukan tanpa alasan. Keadaan lingkungan lah yang membuat mereka harus memasang wajah yang berbeda-beda di setiap pertemuan mereka dengan manusia lain. Meski tidak betah menjadi orang lain, setidaknya itulah jalan terbaik yang harus ditempuh agar alam raya menerima kehadiran mereka. Manusia bermuka dua pun menjadi bom waktu saat keadaan tengah pelik. Kerabat saya pernah merasakan pahitnya dikhianati seseorang yang pernah dia sanjung-sanjung keahliannya dan ketenangannya di depan umum. Namun membicarakan keburukan orang lain di belakangnya.

Saya menyadari satu hal, bahwa untuk diterima kita tidak perlu menjadi orang lain. Kita memang butuh untuk bersosialisasi, berinteraksi, bertukar pikiran dan berbagi rasa. Bukan berarti kita harus menjadi satu rupa dengan mereka. Perbedaan menghasilkan pengalaman rasa baru, pemikiran-pemikiran baru, sudut pandang yang baru. Semestinya itu yang harus dipelihara, bukan malah diasingkan. Karena manusia, dengan segala keunikannya, adalah makhluk yang senantiasa belajar. Tentunya sangat butuh perbedaan pada setiap pembelajaran-pembelajaran baru.

"Tunjukan saja warna mu pada Dunia.
Tidak perlu menjadi orang lain hanya sekadar berebut panggung pengakuan.
Jika orang lain tidak menyukai, biarlah itu menjadi urusan mereka.
Jangan berhenti berkarya dengan apa yang kau punya"

Hari Ini - "Aku ada pada setiap diam."Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang