Saat kau sedang membaca tulisan ini, aku yakin kau sangat tidak asing dengan tema satu ini. Namun, sayangnya beberapa di antara kita masih belum sadar betapa pentingnya hal yang satu ini. Iya, Mental Health. Atau kita biasa menyebutnya dengan Kesehatan Mental.
Kesehatan Mental (Mental Health) adalah keadaan dimana batin seorang manusia berada pada titik tenang dan tentram. Ketika batin berada pada kondisi ini, artinya tubuh, pikiran, serta emosi seseorang berada pada kondisi terbaiknya untuk mulai melakukan suatu hal. Karena pada kondisi ini, seseorang mampu menilai suatu hal dengan jernih, tidak tergesa-gesa, dan bebas dari kekhawatiran apapun. Yang pada akhirnya mampu memberikan gagasan-gagasan yang lebih segar, unik, dan berdampak sangat baik pada apa-apa yang sedang dilakukan saat itu. Dan tentunya, dengan perasaan yang hangat.
Sayangnya beberapa di antara kita masih ada yang belum mengetahui atau bahkan acuh terhadap Mental Health ini. Hingga kerap kali berdampak pada cara bersosialisasi maupun komunikasi yang cenderung kurang memperhatikan aspek mental dari lawan bicaranya. Tidak jarang beberapa di antaranya membentuk manusia di sekitarnya menjadi sosok yang memiliki Mental Illness (Sakit Mental).
Hal yang paling sering aku amati dan alami dalam pembentukan Mental Illness ini adalah adalah besarnya pengaruh sebuah Stigma terhadap kesehatan mental seseorang. Dalam bahasa yang lebih sederhana, Stigma (Stereotype) adalah keadaan dimana seseorang memberikan label atau menilai orang lain secara menyeluruh dengan hanya berbekal data dari salah satu perilaku atau perkataan yang belum selesai disampaikan secara utuh. Sederhananya, kita hanya tahu parsial tapi sudah menilai seluruhnya. Terkadang, ketika seseorang memilih untuk melanjutkan ceritanya, si pendengar dengan cepat memberi respon, "Sudah tahu.. seperti ini kan ?", yang diulang-ulang beberapa kali. Hingga pada akhirnya subjek yang sangat ingin berdamai dengan masalahnya justru merasa mendapatkan intimidasi berupa Stigma atau label tertentu dari pendengarnya sendiri yang padahal sejak awal sudah diharap-harapkan mampu jadi pendengar, atau syukur-syukur menjadi sosok yang mampu memberikan petuah dan masukan.
Contoh yang paling sering aku temui di lingkup pertemanan adalah terburu-buru memberikan label 'Baperan' pada kawan yang belum selesai menceritakan kejadian dirinya yang sedih sebab orang lain mengkhianati. Atau terburu-buru memberikan label 'Bodoh' terhadap seseorang yang melakukan kesalahan dalam melakukan sesuatu. Mungkin saja bagi orang lain, "Halaaah.. itu kan masalah sepele. Ngga perlu lebay deh". Tapi bagi korban, hal-hal seperti itu justru membuat mereka minder yang kemudian memilih untuk menutup pintu rapat-rapat terhadap semua orang yang ingin tahu masalah yang sedang dialaminya. Tidak berani dan tidak mau menceritakan masalahnya pada orang lain, lalu memikirkan semuanya sendiri. Lambat laun, manusia-manusia seperti ini akan berada jauh dari lingkungan pertemanan. Merasa terasing dan serasa memiliki dunianya sendiri. Hidup dalam tekanan prasangka negatif, rasa takut, dan kekhawatiran lainnya. Beberapa berujung menjadi penyakit Psikosomatis (Re: Penyakit Psikologis yang menjalar pada bagian-bagian fisik tertentu). Tidak jarang berujung Stress atau Depresi.
Tidak sedikit fenomena bunuh diri yang sedang ramai di media berasal dari depresi. Yang terbaru adalah berita tentang Choi Jin-Ri atau yang akrab disapa Sully. Penyanyi Girls Band berdarah Korea itu meninggal pada usia muda (24 tahun) dengan cara bunuh diri sebab depresi membawanya menjadi sosok yang sangat tertutup, anti sosial, dan senantiasa bersikap pura-pura tegar di hadapan banyak orang. Depresi membawanya menjadi orang yang tertutup sebab bercerita pada orang lain pun ia rasa percuma. Dan lagi-lagi, Stigma dari orang lain memegang andil yang kuat dalam pembentukan depresi.
Beberapa depresi kerap dikaitkan dengan perkara keimanan. Kurang bersyukur, katanya. Padahal tidak serta merta seperti itu.
"Begini penjelasannya...."
Manusia adalah makhluk dengan hidup yang senantiasa berkelompok. Baik dalam lingkungan belajar, kerja, rumah, bertetangga, dll. Tidak mungkin manusia dapat melakukan segala hal sendiri. Bahkan sekelas Firaun yang menyebut dirinya sebagai Tuhan saja masih butuh orang lain untuk melakukan hal-hal yang tidak bisa ia lakukan. Misalnya, cuci baju, merawat anak, belanja sayur-sayuran untuk dimasak, memasang lampu, atau mungkin membuat kendaraan perang yang mana tidak pernah dipelajari olehnya. Artinya adalah, sampai kapan pun, manusia akan tetap bersosialisasi dengan manusia lain. Apabila dalam suatu kelompok terdapat lingkungan yang senantiasa mengondisikanmu agar menjadi sosok yang senantiasa minder, takut, khawatir, tidak tahu lagi harus berbuat apa dan mengadu kepada siapa. Maka selamat, kau selangkah lebih dekat dengan Mental Ilness. Menjadi seseorang yang senantiasa bersyukur menurut saya masih kurang apabila keadaan di sekitar mengikat erat kita agar menjalani hidup sebagai manusia yang tertekan setiap harinya.
Pada tulisan yang kau baca ini, aku ingin mengajakmu untuk lebih peduli terhadap Mental Health. Karena menurutku, kesehatan mental tidak hanya berdampak pada kebugaran jasmani. Melainkan juga kesehatan berpikir, ketenangan batin, dan kebebasan perasaan dalam menunjukkan beragam warnanya. Apabila dikontekskan pada hubungan antar karyawan, tentunya juga akan berdampak baik pada kekompakan sebuah tim. Serta keterbukaan (yang benar-benar terbuka) antara manusia satu dengan manusia lain.
Disadari atau tidak, beberapa di antara kita pasti pernah ada yang merasa takut menyampaikan suatu gagasan. Lebih memilih untuk berkata iya; siap; baik; joss; gandos; dan lain-lain, namun hati kerap menggerutu atau berkata lain. Dan sadar atau tidak, situasi seperti ini justru membawamu dan rekan kerjamu atau bahkan atasanmu pada kultur yang kurang produktif.
"Jika komunikasi masih belum bisa berjalan baik, bagaimana dengan kerjasama ?"
"Jika kerjasama yang harusnya sejalan ternyata berjalan semburat, bagaimana dengan karya yang katanya menjadi suatu kebanggaan ?"
"Sedangkan masih banyak manusia di luar sana yang membutuhkan uluran tangan kita".
"Jika sejauh ini kita masih saja berkutat dengan situasi yang kurang kondusif pada lingkup internal, bagaimana mau fokus mengabdi pada masyarakat".
Akhir kata dariku,
Mental Health bukan hanya urusan masing-masing manusia. Lingkungan membawa pengaruh hebat yang dapat mendukung atau justru menghancurkan kesehatan mental seseorang. Jika kau merasa sedang baik-baik saja, coba amati manusia-manusia di sekitarmu, apakah semuanya juga sedang baik-baik saja ? Jika menurutmu tidak, lantas berpikirlah dengan jernih. Bertanyalah pada dirimu tentang apa yang harus kau lakukan dengannya. Kita perlu ingat, sehat hanya bukan perkara tubuh yang prima, tapi juga jiwa yang kuat.
"Bukan hanya tubuh yang butuh asupan, jiwamu juga.
Apabila kau merasa sulit mengajak manusia lain mengerti,
Jadilah sosok yang memulai, lalu memberi tauladan.
Beberapa hal baik mengenal bijaksana.
Beberapa bijaksana sangat erat dengan sikap dan perbuatan"
KAMU SEDANG MEMBACA
Hari Ini - "Aku ada pada setiap diam."
Poesía[On going] [Revisi setelah tamat] Adalah pagi yang membuatmu belajar bersinar, Adalah malam yang membuatmu belajar mensyukuri nikmat. Kita tidak akan pernah tahu bagaimana roda-roda kehidupan membawa serta menetapkan kita pada suatu titik kehidupan...