Tiap minggu malam, rasa takut kembali bersuara. Mengusir semangat, melawan kemungkinan-kemungkinan. Seakan do'a yang terpanjat selalu saja tentang apakah diri ini akan aman? Atau, kapankah diri ini akan sudah? Seperti sudah menjadi ritual tiap minggu malam, menjelang istirahat. Dalam mimpi pun, terbawa suasananya.
Tapi dalam mimpi, tidak semencekam dunia nyata.
Dalam mimpi, aku merasa lebih merdeka. Menghabiskan seluruh waktuku untuk melakukan apa yang sudah menjadi angan-angan sejak lama.Pagi pun datang, mimpi pun berkesudahan. Alarm membangunkan jiwa-jiwa yang masih saja terlelap. Kembali pada kenyataan. Siap tidak siap, tidak ada jawaban. Kembali lagi pada satu pasrah. Kepada kata maaf dan telinga yang sudah kupersiapkan untuk mendengarkan hal yang paling menyakitkan.
Memang seperti ini rasanya menjadi bawahan. Merdeka saja tidak. Ingin merdeka harus berani menerima kenyataan lain untuk tidak punya uang. Meski hidup tidak hanya tentang uang. Tapi bagi batangan kere seperti saya, memenuhi kebutuhan pun butuh uang. Lalu pemikiran seperti ini membuat seseorang enggan melepas sengsaranya hanya demi uang. Meskipun sudah tahu bahwa berkarya bisa dimana saja. Dan uang bisa dicari dengan cara apa saja.
Sedangkan dari arah yang bersebrangan, ada seseorang yang sigap menunggu kabarmu. Pahit manisnya dirimu. Baik buruknya dirimu. Tidak peduli seberapa berat hari-harimu, ia siap menjadi bahu untuk kembali menguatkanmu. Tapi kamu justru merasa bersalah padanya karena terus berpikiran untuk memilih merdeka dan keluar dari lingkaran itu. Padahal dia saja tidak menuntutmu menjadi seperti itu.
Tapi, sekali lagi kutanya, jikalau kau keluar, kau mau hidup seperti apa? Apa bisa kau melamar anak orang jika tidak menjadi pegawai tetap? Gajimu berapa? Penghasilan bulananmu berapa? Tidak pasti?? Yasudah, tidak usah lagi dekati anak orang.
"Mapankan dulu itu kau punya kerjaan. Katanya punya mimpi, mana? Apa saja karya yang sudah jadi? Apa sudah ada uangnya? Mana? Tidak ada kan? Omong kosong. Kau cuma malas. Tapi kau tutupi itu seolah kau punya cita-cita besar. Memang pandai cakap kau ini ya. Sudah usia segini, masih saja suka hasut anak orang. Mau jadi apa kau nanti?", hati ini berkelakar pada diri sendiri.
Tolong yaa.. Aku seperti ini karena aku tidak diberi kesempatan. Aku dideadline, dikasih waktu tempuh. Padahal berkarya sepertiku tidak tahu kapan akan menghasilkan. Jika bicara rupiah, aku tidak tahu kapan dan berapa nominalnya. Aku tidak tahu. Yang aku tau, aku mau berjuang dengan caraku. Dan, tolong, biarkan aku melewati semua rintangannya. Aku tidak semangat menjadi bawahan. Aku ingin berkarya dengan apa yang menjadi keinginanku sejak lama.
Biarkan aku lepas. Jangan lagi ada kekangan dari siapapun. Aku mau berjuang dengan caraku sendiri. Tolong dukung saja, doakan yang terbaik. Dan jika ragu, aku tidak akan pernah memksamu untuk hanya memilih aku. Aku justru ingin kau bahagia. Jika menurutmu aku hari ini tidak jelas, tidak ada kepastian, tidak mampu memberimu bahagia. Lepaskan. Aku tau kau akan berada pada orang yang tepat nantinya. Yang tentunya juga akan membawamu pada bahagia. Di sisi lain, pilihan ibumu juga menjanjikan. Tidak mungkin seorang ibu ingin anaknya hidup sengsara. Benar saja beliau mendekatkan orang lain padamu.
Tidak apa, toh aku masih hanya sebatas ini. Tabungan saja tidak ada. Mau melamar anak orang. Aku justru khawatir menciderai keluarga apabila tidak bisa memberi bahagia seperti apa yang telah orang tuamu berikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hari Ini - "Aku ada pada setiap diam."
Poetry[On going] [Revisi setelah tamat] Adalah pagi yang membuatmu belajar bersinar, Adalah malam yang membuatmu belajar mensyukuri nikmat. Kita tidak akan pernah tahu bagaimana roda-roda kehidupan membawa serta menetapkan kita pada suatu titik kehidupan...