Kudengar hari ini langitmu sedang mendung. Kau terasa seperti orang asing. Diam, seakan tidak mengenali siapa-siapa yang berada di sekelilingmu. Kau berkata padaku bahwa kau akan baik-baik saja. Walau bola matamu menceritakan sebaliknya. Secangkir teh hangat dengan rasa manis yang berkurang setengah ku taruh di atas meja, tepat di sebelah kiri tempatmu merebahkan lelah. Termenung, katamu.
Hari ini, kota Surabaya terasa begitu dingin seperti berada di kampung halamanmu, Malang. Meski bukan hujan, beberapa pohon masih saja menari-nari sambil menabur dedaunan kuning keemasan yang katamu tandanya itu daun tua. Setelah isakmu terhenti, dengan wajah kusut dan sedikit mengkilap di pipi, kau memberanikan diri memalingkan wajahmu padaku.
Di matamu, kepergian dan perpisahan adalah satu-satuya hal yang paling menakutkan dalam hidup. Dan kehilangan sosok yang katamu setiap harinya selalu ada untukmu, bagimu adalah hal yang mungkin saja memberikan bekasan luka terdalam. Ya walaupun menurutku dia sudah terlalu acuh untuk merasakan luka itu. Kau bilang, kau takut tidak bisa menjalani hidup seorang diri. Kau takut kesulitan berjalan kembali. Kau takut di luar sana banyak manusia bertopeng seperti dia. Kau takut hatimu salah mendarat lagi di kemudian hari.
Yang tidak kalah penting, kau sangat takut kabar perpisahanmu terdengar di telinga mereka-mereka yang sejak awal sudah tidak menyukaimu. Bagi mereka, sejak awal kau adalah biang segala hal buruk. Di mata mereka, hal burukmu seakan sudah menjadi asumsi yang hanya menunggu waktu saja untuk terjadi. Dan kabar perpisahanmu, adalah kabar baik yang sangat mereka nanti.
“Tunggu dulu.. Sebelum kau pergi, aku ingin bercerita tentang rasa takut..”
Aku pernah sedikit belajar mengenai rasa takut. Menurutku, rasa takut adalah saat dimana tubuh, hati, dan pikiran merasakan adanya bahaya atau ancaman di depan mata. Hingga kita kesulitan atau bahkan tidak mampu menghadapinya. Mengendarai motor malam hari lalu bertemu orang asing yang sepanjang perjalanan selalu membututi motor kita, lalu menodongkan golok tajam disertai makian kasar yang berkomat-kamit keluar dari mulutnya agar kita berhenti. Lalu kita tidak tahu mesti berbuat apa di saat-saat seperti ini. Kita hanya berpikir bahwa nyawa adalah satu-satunya yang harus selamat. Meski tidak ada jaminan nyawa akan selamat pada malam itu. Lalu kita merasakan ketakutan karena ancaman berada tepat di depan mata.
Sedangkan, keadaan dimana kita merasakan bahaya atau ancaman dengan sebab yang masih belum jelas adanya, aku menyebutnya dengan Anxiety. Kalau bahasa rakyatnya adalah cemas atau khawatir. Aku ingat semasa kuliah dulu ibu pernah menghubungi nomor ponselku berulang kali, namun tidak terjawab olehku. Pada malam itu, ponsel sedang berada di dalam tas dan aku sedang dalam perjalanan menuju rumah sekitar pukul sebelas malam. Sesampainya di rumah, aku mengecek banyaknya panggilan tidak terjawab dari ibu. Lalu aku bertanya; “ada apa telepon, Bu?”. “Ibu takut kamu kenapa-kenapa di jalan. Karena ngga ada kabar dari tadi”, ujarnya. Apabila coba diamati kembali, sebenarnya ibu sedang merasa cemas, bukan takut karena prasangka ibu lebih tinggi dari hal yang sejatinya aku alami pada malam itu.
Aku membedakan rasa takut sendiri menjadi takut yang sebabnya rasional dan tidak rasional. Jika memang hal yang mengancam itu terjadi di depan mata kita, maka itu adalah ketakutan rasional. Apabila rasa takut yang sebenarnya tidak benar-benar mengancam, namun kita sendiri yang membuat seolah-olah hal tersebut mengancam. Aku menyebutnya ketakutan tidak rasional.
Kita begitu, takut orang lain tidak menyukai. Atau rasa takut akan hidup yang tidak berjalan baik setelah berpisah dari pasangan. Kita takut mendapat amarah dari atasan sebab kinerja kurang baik. Takut akan umur yang bertambah tua namun masih belum punya pasangan. Takut ketika teman seangkatan sudah mendapatkan pekerjaan tetap sedangkan kita masih merintis usaha dari nol. Menurutku, hal-hal tersebut sejatinya adalah ketakutan tidak rasional yang masih bisa diatasi. Coba sesekali kita bertanya pada rasa takut yang seringkali menghantui dengan pertanyaan, ‘Lantas, kenapa ?’.
‘Lantas kenapa jika orang lain tidak menyukai? yang meyukai juga masih banyak kok. Hidup akan terus berlanjut’
‘Lantas kenapa jika atasan marah? bukankah kinerja memang tidak selamanya berjalan mulus sesuai rencana?’
‘Lantas kenapa jika aku tidak lagi bersamanya? Jika dia sudah memilih jalannya ? Apa perlu kuratapi kepergiannya ? Dunia pun tidak berhenti berputar. Hidup harus terus berlanjut.’
‘Lantas kenapa jika usiaku segini ? Lantas kenapa jika aku belum menikah seperti yang lain ? rencana hidup satu manusia tidak bisa disamakan dengan manusia yang lain’
‘Lantas kenapa jika aku masih merintis usaha sendiri ? apa aku harus malu ? apa aku harus iri dengan mereka yang sudah mendapatkan pekerjaan tetap ? apa harus aku mengikuti jalan mereka ? apa tidak boleh aku menapaki jalanku sendiri ?’
Selama ini, prasangka kita mungkin terlampau besar untuk hal yang sebenarnya tidak perlu dibesar-besarkan. Kita terlalu khawatir orang lain tidak menyukai. Padahal bahagia tidak hanya didapat dari segelintir manusia. Banyak manusia atau hal lain yang bersedia menerima keberadaan kita dan membuatnya lebih berkembang. Mungkin saat ini kau masih belum menemui. Tapi, dengan apa-apa yang kau miliki saat ini, aku yakin hidup akan mengantarmu pada perjalanan yang tidak akan pernah kau duga-duga sebelumnya. Dipertemukan dengan lingkaran pertemanan baru yang membuatmu jauh berkembang, berani untuk berkarya, dan berani untuk menunjukan siapa dirimu dengan semua kebaikan-kebaikan yang kau miliki. Menguatlah.
“Bertanyalah, ‘Lantas Kenapa ?’
Pada setiap rasa takutmu.
Kelak kau akan tahu, bagaimana cara
Menghadapi rasa takut dengan versimu sendiri.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Hari Ini - "Aku ada pada setiap diam."
Poetry[On going] [Revisi setelah tamat] Adalah pagi yang membuatmu belajar bersinar, Adalah malam yang membuatmu belajar mensyukuri nikmat. Kita tidak akan pernah tahu bagaimana roda-roda kehidupan membawa serta menetapkan kita pada suatu titik kehidupan...