"Maaf, Liand. Aku nggak bisa." Humaira menggeleng dengan wajah tertekan penuh penyesalan.
Hati Liand sangat kecewa menerima penolakan itu. "Kenapa, Mai? Aku sudah datang bersama kedua orangtuaku. Apa alasanmu menolak lamaranku?"
Humaira menundukkan kepala untuk meluruhkan air mata. Bu Intan mengusap punggung gadis itu dengan wajah sama sedihnya.
"Kalau boleh jujur, aku juga ingin menerima lamaranmu. Tapi, Bunda ..." Ucapan Humaira terhenti, berganti isak tangis.
Liand menghela napas berat. "Kamu menolakku cuma gara-gara nenek Rani nggak menginginkan kita menikah?"
Ragu-ragu Humaira mengangguk, lalu mendongak dengan wajah bersalah. Pipi kemerahannya sudah basah oleh air mata. "Maafkan aku, Liand."
"Astaghfirullah." Liand mengusap wajah frustrasi. "Mai, dengarkan aku. Nenek itu nggak akan pernah merestui kita menikah sampai kapan pun. Dia ingin kamu menikahi Papamu. Dia ingin kamu mengandung dan melahirkan anak papamu. Itu yang dia inginkan."
Humaira menggeleng ngeri. "Nggak gitu. Bunda cuma nggak mau kita menikah terlalu muda. Usia kita masih tujuh belas tahun, Liand, masih di bawah umur untuk menikah."
Liand menatap Humaira tak percaya. "Serius, kamu beranggapan seperti itu, Mai? Dalam Islam, usia baligh sudah boleh menikah. Nggak harus menunggu sampai sembilan belas atau bahkan dua puluh tahun. Kita dihalalkan menikah, selama kedua orangtua merestui."
"Orangtuamu, Liand. Tapi orangtuaku nggak merestui. Bunda sudah kuanggap sebagai orangtuaku sendiri. Beliau yang mengambilku dari panti asuhan, lalu merawat, mendidik dan membesarkanku sampai seperti sekarang ini. Aku nggak bisa membantah perintah Bunda. Aku nggak mau jadi anak yatim piatu yang nggak tahu diri." Humaira masih bersikeras memahamkan Liand tentang baktinya pada Rani.
"Kalau Nenek Rani memang serius peduli dengan kesiapan mentalmu menjadi istriku, aku nggak masalah, Mai. Wallahi, aku justru akan mendukung ikhtiarnya menghalangiku menikahimu. Tapi ... Aku tahu bagaimana ambisiusnya Nenek Rani ingin menikahkanmu dengan Papamu."
"Liand! Jangan keterlaluan kalau su'udzon!" Humaira menegur prasangka Liand yang dinilai sudah melampaui batas.
Liand hanya mampu memejamkan mata menanggapi teguran kekasihnya. Dia sudah sangat putus asa, tidak tahu lagi bagaimana cara meyakinkan gadis pujaannya agar mau menerima lamarannya dan menikahinya secara siri. Harapan Liand, ketika dia berangkat ke Leeds, abi dan umminya bisa membawa Humaira ke rumah mereka untuk dijaga dan dilindungi dari nenek Rani. Dengan begitu, dia akan tenang menjalani hari-hari di Leeds untuk menuntut ilmu, meskipun tanpa kehadiran Humaira di sisinya.
Liand sangat tahu, nenek jahat itu punya niat buruk, ingin menikahkan Humaira dengan Om Fahri. Namun, dugaan waspadanya malah dianggap sebagai prasangka buruk oleh Humaira. Bahkan bu Intan--perawat pribadi Humaira--juga ikut mendukung apapun keputusan anak asuhnya. Jalan buntu. Liand sudah tidak bisa berbuat apapun lagi selain pasrah ditolak Humaira dan berangkat ke Leeds dengan hati hampa.
Pada akhirnya, dugaan Liand tentang niat buruk nenek Rani terbukti benar. Nenek tua jahat itu tega memberi obat perangsang lalu mengurung Humaira dan papa angkatnya dalam satu kamar sehingga perbuatan zina itu terjadi, menyebabkan Humaira mengandung anak Fahri.
Liand sangat ingin menuntut balas pada Nenek tua yang telah lancang menjungkirbalikkan dunianya. Bagi Liand, Humaira adalah dunianya. Jadi ketika Humaira dirusak, maka, rusak pula dunianya. Namun sayangnya, hidup nenek tua jahat itu sudah berakhir akibat serangan jantung. Wanita itu tidak kuasa menghadapi kemurkaan putranya sendiri. Ketika Fahri memutuskan hubungan mereka sebagai ibu dan anak, jantung nenek Rani tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Lalu, kematian menjemputnya secara tiba-tiba.
KAMU SEDANG MEMBACA
Toxic Temptation NEW VERSION (Versi Novel)
RomanceTidak hanya direnggut keperawanannya, Humaira juga harus mengandung dan melahirkan anak Fahri. Dengan semua kepahitan itu, Liand bersedia menikahi Humaira. Demi nama baik keluarga mereka. Demi cintanya pada Humaira. Akan tetapi, pernikahan tidak mem...