Setelah dipukul dengan penuh perhitungan, bola putih kecil itu menggelinding sejauh 200 meter, memasuki lubang yang ditancapi bendera putih segitiga.
"Yassss!" Andrew berseru, mengangkat tongkat pemukul ke udara. "Hole in one, yass!" Dia kemudian berkacak pinggang, menatap bangga pada lubang berisi bola.
"Bravo!" Liand bertepuk tangan, ikut merayakan keberhasilan abinya. "You're really good at it."
"Oh, ayolah." Andrew berdecak, tidak suka melihat kekalahan anaknya, tetapi juga senang telah menang. Handicap Liand 36. Handicap-nya 28. Jelas lebih baik skornya. Berbeda dengan sepak bola atau olahraga lain, dalam golf, perolehan skor handicap yang paling kecil adalah pemenangnya. Sedangkan skor handicap terbesar justru menandakan bahwa pemain mempunyai banyak kecacatan dalam memukul bola. "Masa kamu kalah dengan Abi yang sudah tua ini? Ayo, semangat."
Liand hanya mengulum senyum. Ucapan abinya terdengar tidak masuk akal. Lapangan golf di vila bukit Panderman ini dibangun saat kuliah S3 di Leeds baru saja dimulai. Selama itu, dia jarang pulang ke Indonesia. Kalau pun pulang, pertemuannya dengan Humaira dan acara kumpul-kumpul keluarga menjadi prioritas. Setelah lulus pun, sejumlah permasalahan, seperti kasus pemerkosaan dan kehamilan Humaira, pernikahan mereka, juga debutnya dalam merintis perusahaan properti sudah menyedot banyak perhatian. Mana sempat Liand berlatih golf seperti abinya?
"Next time. Kalau sudah punya waktu luang, aku akan serius belajar golf, biar mahir seperti Abi." Liand berencana.
Andrew menepuk bahu putranya. "Harus. Sebagai seorang pengusaha, pandai bermain golf akan menjadi nilai lebih di mata rekanan, bahkan rival bisnis sekalipun." Pria berkaus polo putih dipadu celana panjang motif kotak-kotak ini berpetuah sembari menyerahkan tongkat pemukul pada caddy laki-laki yang sejak tadi mengikuti mereka. "Ayo, kita duduk dan sarapan di kafe."
Liand mengangguk. Sembari melepas sarung tangan putih, pria muda berkaus putih polo dipadu celana panjang krem itu berjalan di sebelah Andrew. Lima menit berjalan kaki, mereka menaiki golf cart yang diparkir di bawah pohon pinus. Andrew duduk di sebelah caddy, sedangkan Liand di kursi belakang. Dengan disopiri caddy, mobil mini tanpa pintu itu menyusuri jalan menuju kafe yang terletak di area depan vila.
Setelah melintasi berhektar-hektar luas lapangan, golf cart berhenti di depan kafe bernuansa alam. Tempat duduknya ditata rapi di luar ruangan dengan dilengkapi payung besar sebagai peneduh. Perabotnya terbuat dari kayu. Setiap sudutnya ditumbuhi berbagai macam tanaman hias dan aneka bunga.
"Selamat pagi." Seorang pekerja perempuan bercelemek hitam dengan logo Panderman Vila Cafe menyapa ramah, membukakan pintu untuk mereka.
"Pagi," balas Andrew bersuara berat dan berwajah brewok penuh wibawa.
Sedangkan Liand hanya membalas dengan anggukan dan senyuman ramah. Pelayan kafe tersipu malu menerima senyuman putra pemilik vila itu.
Andrew mengajak Liand menaiki tangga kayu menuju rooftop, tempat khusus yang tidak boleh dimasuki pengunjung lain selain pemilik vila ini.
Di atap kafe hanya terdapat dua set tempat duduk yang terdiri dari kursi lipat, meja bundar, dan payung lebar. Sepanjang birai ditumbuhi berbagai varian bunga mawar kesukaan Aulia. Di setiap sudutnya diberi pot-pot tanaman hijau seperti monsterra, pisang-pisangan, herbal, dan berbagai macam anggrek bulan yang menambah asri dan kesan sejuk atap kafe.
"Hasil kerja kerasku selama ini." Andrew menatap bangga pada hamparan lapangan golf dan taman bunga di bawah sana.
Sejauh mata memandang, lapangan golf beralaskan rumput hijau terhampar luas. Pinggiran lapangan golf ditumbuhi pepohonan pinus berselang-seling dengan cemara. Beberapa golf cart melintasi jalan berpaving. Vila ini dibuka untuk umum hanya pada kafenya saja. Sedangkan lapangan golf dan kamar-kamar vila hanya disewakan untuk orang-orang yang sudah melakukan reservasi sebelumnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Toxic Temptation NEW VERSION (Versi Novel)
RomanceTidak hanya direnggut keperawanannya, Humaira juga harus mengandung dan melahirkan anak Fahri. Dengan semua kepahitan itu, Liand bersedia menikahi Humaira. Demi nama baik keluarga mereka. Demi cintanya pada Humaira. Akan tetapi, pernikahan tidak mem...