Bab 6. Coyote Club

1.4K 196 31
                                    

Semenjak menyerah pada kesembuhan trauma istrinya, Liand sudah terbiasa dengan pengabaian nafsu syahwat. Pemuasan diri di bawah guyuran shower air dingin menjadi alternatif yang dirasa cukup.

Ketika Humaira memutuskan untuk terlibat aktif dalam kegiatan sosial pondok pesantren milik keluarga Bu Intan di Malang, Liand tidak keberatan. Apalagi tujuan aktivitas tersebut bertujuan agar penyakit trauma Humaira bisa sembuh.

Sejak saat itu, Humaira dan Bu Intan--sambil mengajak Ralind--pulang pergi Malang-Surabaya, hampir setiap hari.

Liand turut disibukkan dengan rutinitas kantor yang sangat padat. Seperti, menandatangani kontrak dan jual beli unit apartemen, meninjau lokasi proyek properti baru, bertemu klien penting yang akan berinvestasi pada perusahaannya, menghadiri rapat-rapat penting, dan masih banyak lagi.

Kesibukan suami istri itu merenggangkan jarak. Mereka hanya sempat bertemu di malam hari saat tubuh sudah lelah dan menuntut untuk diistirahatkan, atau pagi hari menjelang keduanya sibuk beraktivitas kembali.

Begitu seterusnya hingga tak terasa setengah tahun hampir berlalu.

Pagi ini, Liand merasa sangat berhasrat. Apalagi tubuhnya terasa bugar setelah kemarin sore berolahraga di Luxurious gym yang terletak di lantai tujuh Luxe Tower gedung apartemen ini. Ketika hendak memakai baju kantor, mata hazel-nya menangkap sosok Humaira sedang berganti baju di walk-in closet. Kulit putih itu terlihat selembut satin. Oh, tidak. Liand yakin, kulit istrinya jauh lebih halus dari kain sutra sekalipun. Kaki jenjang wanita itu sangat indah ketika berjinjit mengambil kerudung di lemari paling atas. Pinggangnya meliuk bak gitar Spanyol. Rambut keemasannya berkilau seperti air sungai tertimpa cahaya matahari. Segala hal yang ada pada tubuh Humaira membuat Liand tertegun, dan susah menelan air liurnya sendiri.

Liand baru saja selesai mandi, tetapi sekarang harus kembali lagi ke kamar mandi untuk memuaskan syahwat. Di bawah pancuran air dingin, otak bejatnya membayangkan betapa nikmat jika Humaira mengambil kendali atas hasrat terkutuknya ini. Betapa nikmat jika dinginnya air digantikan dengan kehangatan tubuh mulus istrinya.

Tak berapa lama berusaha, puncak kenikmatan berhasil diraih. Liand mengerang seperti pahlawan kalah perang. Mengenaskan.

Di tengah napas yang tersengal, Liand berharap. Semoga Tuhan berbelas kasihan memberinya kepuasan dan kehangatan dari seorang perempuan, bukan dari telapak tangannya sendiri.

*****

"Halo, Darling. Kamu sibuk?" Suara Nicholas terdengar dari seberang telepon.

"As usual. Nunggu Humaira pulang dari Malang, sambil nonton Netflix di kantor." Ujung telunjuk Liand menggeser poster-poster film di layar iPad.

"Pathetic." Nicholas mengejek tanpa perasaan.

Liand tidak menjawab, masih sibuk memilih judul film mana yang ingin ditonton. Dia sudah terbiasa dengan cemoohan sahabat karibnya sejak di Leeds.

"Ikut aku ke Coyote club, yuk," tawar Nicholas.

Liand mengernyitkan dahi. Jari telunjuknya berhenti pada judul film John Wick. "Coyote Club? Kamu mengajakku dugem? Kalau iya, seharusnya kamu tahu jawabanku."

"No, no, no. Aku nggak mungkin mengajak seorang santo sepertimu dugem. Ada rekanan yang harus kutemui di sana. Ayolah, temani aku. Aku nggak akan diperbolehkan Nindi pergi ke tempat maksiat itu tanpa dampinganmu."

Liand mencebik. "Bahkan istrimu lebih mempercayaiku ketimbang dirimu sendiri?" Dengkusannya terdengar mencemooh.

"Yeah, yeah. Whatever. Mau, ya? Aku jemput sekarang."

Toxic Temptation NEW VERSION (Versi Novel)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang