Bab 4. Kekecewaan Liand

1.4K 204 24
                                    

"This too shall pass." Semua ini pasti akan berlalu.

Doktrin yang sudah susah payah ditanam dalam hati Liand memudar ketika Humaira menolak diterapi oleh psikolog.

Tiga bulan pertama menekuni terapi, Humaira mau menyentuh, menggendong, bahkan menyusui Ralind. Liand senang melihat istrinya sudah mau menjalankan perannya sebagai ibu kandung Ralind.

Namun, bulan keempat, di mana sesi terapi sudah mulai menjajaki sisi traumanya, Humaira mulai enggan diajak ke psikolog lagi. Wanita bermata biru itu beralasan bahwa aibnya tidak harus diumbar secara gamblang pada orang lain.

"Tapi dia psikolog, Mai. Sama seperti dokter-dokter lain yang ingin menyembuhkan penyakit kita. Mereka nggak mungkin akan mengumbar penyakitmu pada orang lain, atau menghakimi kecerobohanmu sampai bisa sakit. Nggak mungkin Dr. Aimee--"

"Kenapa nggak mungkin?" Humaira memotong ucapan Liand. "Dia juga manusia biasa yang bisa khilaf. Gimana kalau dia khilaf, menceritakan aibku pada temannya atau menceritakan traumaku pada psikolog lain sebagai studi kasus, misalnya? Bisa kamu bayangkan, gimana malunya aku menanggung aib yang seharusnya nggak boleh didengar orang lain meski itu dokter atau psikolog sekalipun?"

Liand berusaha mencerna penyangkalan Humaira yang terdengar tidak masuk akal di telinganya. "Para psikolog yang namanya sudah tercantum dalam daftar HIMPSI, insyaa Allah amanah. Begitu juga dengan Dr. Aimee, psikologmu. Dia sudah disumpah untuk nggak membocorkan masalah pribadi pasien pada pihak lain. Tugas psikolog hanya menyembuhkan pasien. Kalaupun ada studi yang mengharuskan mereka mendiskusikan kasus traumamu, pasti identitasmu akan ditutupi, demi menjaga privasi."

Humaira terdiam menanggapi argumen suaminya yang sangat masuk akal. Namun hatinya masih ragu membuka aib pada orang lain. Mata birunya bergerak-gerak gelisah memindai wajah tampan di hadapannya. Kedua tangannya yang semula bersedekap di atas meja makan kayu jati berbalut taplak rajut benang emas, kini mengepal di depan mulut. Gigi putih rapinya menggigiti ujung kuku jempol.

Di kursi seberang, Liand menunggu tanggapan Humaira dengan sangat sabar dan penuh harap. Namun, kesabarannya dijatuhkan ke dasar jurang ketika Humaira bertanya, "Apa kamu buru-buru?"

Mendengar pertanyaan itu, Liand mengernyitkan dahi. "Maksudmu?"

Humaira menurunkan kepalan tangan di atas meja, lalu menghela napas untuk mengenyahkan rasa resah dalam hatinya. "Apa kamu buru-buru ingin bisa menyentuhku? Itu sebabnya, kamu menyuruhku untuk segera mengikuti sesi terapi berikutnya?"

Liand terperangah mendengar pertanyaan itu. Mulutnya terbuka, tetapi tak ada sepatah kata pun yang terucap. Dia tidak percaya, kalimat tanya sekejam itu bisa meluncur dari bibir Humaira, seolah dirinya adalah seorang suami pemaksa yang tidak bisa menekan syahwat.

Ingin rasanya Liand menjabarkan pengorbanan apa saja yang telah dia lakukan selama ini. Ingin rasanya dia memberi pemahaman pada Humaira bahwa kesabaran yang selama ini dia lakukan bukanlah sesuatu hal yang bisa dianggap remeh.

Tidak. Kesabarannya tidak seremeh itu. Kesabarannya patut diapresiasi dengan balasan yang setimpal berupa bentuk ketaatan dan kepatuhan Humaira dalam mengikuti sesi terapi agar bisa segera memberinya pelayanan memuaskan di ranjang.

Namun kemudian, Liand sadar bahwa kesabarannya yang menuntut balas itu sama saja dengan tuduhan Humaira. Padahal, tuduhan itu tidak benar. Liand bukan pria primitif yang tidak mampu menekan hawa nafsu. Dia adalah pria terhormat berpendidikan tinggi. Sejak kecil, kedua orangtuanya selalu mendidiknya sesuai pakem ajaran Islam dan norma masyarakat yang dijunjung tinggi. Humaira harus tahu itu.

Dengan sisa-sisa kesabaran yang dimiliki, Liand menghirup udara sebanyak mungkin sebelum berkata, "Aku nggak akan memintamu bersetubuh denganku selama kamu sendiri belum menginginkannya." Suaranya terdengar tegas. "Pegang janjiku."

Toxic Temptation NEW VERSION (Versi Novel)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang