Bab 15. Menahan Diri

1.6K 207 82
                                    

Liand sudah gelap mata. Jemari panjangnya melepas kancing kemeja Maya dengan kesusahan, tetapi akhirnya berhasil dibuka juga. Tanpa permisi, telapak tangannya menyelinap di balik kemeja ungu sang sekretaris.

Maya tersentak menerima remasan Liand di dadanya. Remasan itu membuat libidonya meningkat. Maya melenguh.

Lenguhan Maya terdengar sangat menggairahkan. Liand semakin liar melumat bibir ranum sang sekretaris. Dengan tak sabar, tangannya beralih pada paha mulus menggoda. Saat tangannya hendak meraih celana dalam gadis itu, ponsel di saku kemejanya berdering.

Sebenarnya, Liand tidak mau peduli, tetapi sang penelepon tetap gigih menelepon seolah tidak mau diabaikan. Dering panjang yang tak pernah usai mulai mengganggu rungunya. Liand melepas ciuman dan mengernyit kesal. Dia terpaksa mengurungkan niat memelorotkan celana dalam sekretarisnya untuk mengambil ponsel di saku kemeja.

Ternyata Ummi yang menelepon. Mendadak, rasa bersalah merajai hatinya. Liand merasa menjadi anak yang sangat kurang ajar, sudah lancang meninggalkan kedua orangtuanya begitu saja, dan sekarang malah menindih tubuh sekretarisnya, bahkan hampir saja menidurinya. Kacau!

Dengan pikiran carut marut, Liand bangkit dari sofa lalu berjalan dan duduk di kursi kebesarannya. Pria itu meninggalkan sekretarisnya yang masih tergolek di atas sofa tamu dengan penampilan berantakan.

Sementara itu, Maya tak mengerti. Apa maksud Liand membawanya ke ruang CEO, melumat bibirnya, memporakporandakan kemejanya, lalu kini meninggalkannya begitu saja? Dia menghela napas lirih untuk mengenyahkan kebingungannya, memutuskan untuk bangkit dari sofa dan melihat Liand sedang serius berbicara di telepon dengan seseorang.

"Iya, Umm. Aku minta maaf sudah- Aku tahu. Tolong, sampaikan maafku juga pada Abi. Aku tidak bisa kembali ke penthouse sekarang, masih sibuk di kantor. Banyak pekerjaan yang harus kuselesaikan." Liand mengurut kening, lalu menyugar rambut dan menatap sekretarisnya sekilas sebelum kembali menunduk pada meja kerja.

Maya hanya mampu meneguk ludah saat menyadari bahwa bosnya yang memesona itu baru saja mencium bibirnya secara liar, bahkan menindih tubuhnya dan hampir saja memelorotkan celana dalamnya. Meskipun ruang mulut Liand beraroma rempah, entah pria itu baru makan apa, tetapi Maya tidak keberatan. Ciuman dan remasan tangannya benar-benar nikmat. Maya ingin merasakannya sekali lagi, tanpa ada gangguan. Andai saja ponsel terkutuk itu tidak berdering, mereka sekarang pasti sudah-

"Maya."

Suara bariton yang berwibawa itu menyentak kesadaran Maya, lalu memacu jantungnya berdegup lebih kencang.

"Y-ya, Mas?" Maya buru-buru mengancingkan kemeja, merapikan rok span, dan menyisir rambut yang berantakan memakai jari. Akibat melamun, dia sampai tidak tahu Liand sudah mengakhiri pembicaraannya di telepon dan kini sedang menatapnya tajam.

"Maafkan aku, sudah ...." Liand berdeham, enggan menyebut kekhilafannya. "Peristiwa barusan, tolong, jangan dianggap serius." Dia memejam sekejap sebelum melanjutkan ucapan lagi, "Aku tahu ini terdengar sangat berengsek, tapi, aku tidak bermaksud merendahkanmu, atau melecehkanmu, aku hanya ..." Liand menggaruk tengkuk, terlihat sangat frustrasi. "Maaf, aku tidak tahu harus menjelaskan bagaimana padamu."

Melihat bosnya sedang kesulitan berbicara, Maya tersenyum lembut, "Nggak apa-apa, Mas." Meskipun hatinya terluka karena sadar bahwa ciuman yang didamba ternyata hanya dianggap sebuah kesalahan, dia masih menyuguhkan senyuman tulus. "Aku nggak tahu apa yang sudah terjadi sampai kamu nekat menciumku. Tapi, aku paham, itu hanya khilaf. Mas mungkin butuh pelampiasan. Dan, aku ... tidak keberatan jadi pelampiasanmu."

Menanggapi ucapan sekretarisnya, Liand menggeleng kuat. "Bukan begitu. Tadi itu, aku hanya ..." Lagi, dia kesulitan menjelaskan. Namun kemudian, sadar bahwa apa pun alasan yang akan dia katakan hanya akan menjadi pembenaran atas sikap tidak bermoralnya tadi.

Toxic Temptation NEW VERSION (Versi Novel)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang