"Allahu Akbar ... !"
Erangan Humaira menuntut Liand meremas jemari lentik itu lebih erat.
Dalam perasaan kalut, mata hazel-nya menatap wanita berjilbab biru yang sedang berbaring di atas kasur bersalin dan mengerahkan seluruh tenaganya untuk mengeluarkan bayi dari dalam rahimnya.
Sayang, bayi itu bukan anak Liand.
Kenyataan pahit menampar egonya sekali lagi. Tubuh Liand membeku. Seluruh darahnya tersirap. Kewarasannya hampir sulit dipertahankan."Liand ...."
Rintihan Humaira mengalihkan pemuda itu dari segala ketidakberdayaan.
"Ya?" Liand berusaha menunjukkan wajah tegar di ambang batas kewarasannya.
"Kamu ... nggak harus menemaniku." Di tengah napas tersengal dan rasa sakit yang mendera, wajah cantik seputih kapas itu masih menyuguhkan senyuman. "Aku bisa ... melakukan ini ... sendiri."
Liand terdiam. Sesak mulai memenuhi rongga dada. Hatinya remuk redam. Melihat wanita yang sangat dicintai sedang berjuang melahirkan anak pria lain bukanlah perkara mudah. Sungguh, tidak mudah. Bahkan Humaira juga menyadari hal itu.
Kalau boleh jujur, ingin rasanya Liand melepas genggaman tangan mereka, lalu berlari ke bukit untuk meneriakkan rasa sakit yang sedang mengoyak hatinya tanpa ampun.Namun, Liand sadar. Jika dia lari, bagaimana dengan Humaira?
Wanita ini sama sekali tidak pernah ingin melahirkan anak dari papa angkatnya. Liand sendiri menyaksikan, bagaimana seriusnya Humaira mengikrarkan janji setia menunggunya selesai kuliah di Leeds.
Liand juga tidak pernah lupa bagaimana wajah cantik ini berubah menjadi sangat terguncang saat melihatnya datang. Bukan senyuman indah yang dia dapatkan, melainkan raungan permintaan maaf dan jeritan penyesalan bahwa dirinya telah ternoda.Liand juga menyaksikan dengan mata kepala sendiri, bagaimana Humaira bersujud memohon ampun di kakinya dan menangis tanpa henti, hingga tak sadarkan diri.
Liand tahu, bagaimana Humaira masih sangat mencintainya sejak dulu, sampai detik ini.
Liand juga tahu. Humaira sama terpukul dengan dirinya, sama tidak berdaya melawan takdir kejam yang sedang menghempaskan mereka ke dalam jurang penderitaan.
Itu sebabnya, Liand menguatkan hati untuk membunuh egonya sekali lagi.
Dengan mengeratkan genggaman pada jemari kurus milik Humaira, Liand berkata, "Let's do this together. Bayi yang sedang kamu lahirkan adalah anakku, anak kita. Note that in mind." Mata hazel-nya memberi tatapan sungguh-sungguh pada wanita yang sangat dicintai selain Ummi. "Itu sebabnya, aku tidak akan meninggalkanmu. Akan kutemani sampai anak kita lahir. Aku harus ikut berjuang bersamamu, Mai."
Mendengar ucapan itu, mata biru Humaira digenangi buliran bening. Wajah yang tadinya dipaksa kuat, kini melunak, dan menampakkan kerapuhan.
"We can do this together," bisik Liand sekali lagi di atas telinga Humaira. "Aku yakin, kamu mampu melahirkan anak kita dengan baik."
Anak kita.
Mendengar dua kata itu, Humaira memejamkan mata, meluruhkan buliran bening. Rasa sakit yang mendera sejak beberapa jam lalu, melemahkan urat syarafnya. Tubuhnya kelelahan, bahkan sudah hampir kehabisan tenaga. Tetapi, ucapan Liand memberinya energi baru untuk mengejan lebih kuat lagi.
"Eerrrggh ... !"
Erangan Humaira diiringi oleh genggaman kuat dan untaian doa dari bibir Liand. Doa itu dirapalkan entah untuk mempertahankan kewarasannya atau untuk kelahiran bayi yang tidak pernah diharapkan lahir. Berdoa untuk keduanya akan lebih baik.
"Sedikit lagi. Dorong yang kuat ya, Bu." Bidan dan beberapa perawat di bawah kaki Humaira tak surut memberi semangat.
Sekuat tenaga menjeritkan asma Allah, Humaira berhasil mengeluarkan bayi merah yang menangis keras-keras.
KAMU SEDANG MEMBACA
Toxic Temptation NEW VERSION (Versi Novel)
RomanceTidak hanya direnggut keperawanannya, Humaira juga harus mengandung dan melahirkan anak Fahri. Dengan semua kepahitan itu, Liand bersedia menikahi Humaira. Demi nama baik keluarga mereka. Demi cintanya pada Humaira. Akan tetapi, pernikahan tidak mem...